Aku berjalan, berjalan, dan terus berjalan… Aku berjalan, berjalan, dan berjalan… Aku berjalan semakin pelan, pelan, dan pelan… Aku hampir kehilangan tenaga… Aku lelah… Aku haus… Padang pasir ini bisa membunuhku… Tapi aku terus berjalan, berjalan, dan berjalan… Aku mencari air, aku mencari oase… Aku tak mungkin berhenti, diam, dan membiarkan debu pasir ini membunuhku… Aku terus berjalan… Dan tiba-tiba, aku melihat hijau di antara pasir-pasir yang nyaris tak berwarna ini… Aku melihat hijau… Aku melihat hijau… Aku bersorak kegirangan… Aku menemukan oase di kejauhan itu… Aku berlari, berlari, dan berlari untuk menggapai oase itu, untuk menggapai air di dalamnya… Aku tak peduli rasa hausku lagi, aku tak peduli dengan lelahku lagi, aku tak peduli jika air di dalam oase itu beracun… Toh, oase itu bisa hidup… Aku berlari, berlari, dan terus berlari… Semakin dekat, dekat, dekat, semakin dekat… Aku hampir menggapainya… Dan, hanya dengan satu kedipan mata, oaseku menghilang… Tak ada lagi hijau di antara pasir-pasir yang tak berwarna… Semua hanya fatamorgana…
Kembali, aku berjalan, berjalan, dan terus berjalan… Kembali, aku hampir kehilangan tenaga… Aku kedinginan… Aku berjalan, berjalan, dan terus berjalan di antara putih, putih, dan putih… Putih dan dingin… Aku hanya melihat hamparan selimut putih… Putih dan dingin… Aku kedinginan di antara salju-salju yang indah tapi kejam ini… Aku berjalan, mencari perlindungan… Aku berjalan, mencari kehangatan… Aku berjalan, mencari sesuatu yang tak bisa aku dapatkan di tengah padang salju ini… Ah, di kejauhan, aku melihat merah di antara putih… Aku kira merah dapat melelehkan putih… Aku kira merah dapat menghangatkan putih… Aku melihat kobaran api di balik jendela… Aku melihat rumah yang mungil, di tengah salju yang menggunung… Atapnya putih tertutup salju, hanya sedikit ruang di depan pintu untuk berjalan tanpa menciptakan tapak kaki, dan ada kobaran api yang hangat di balik jendela… Aku semakin mendekati rumah mungil itu… Semakin, semakin, dan semakin dekat… Aku melihat dengan jelas bahwa ini bukan fatamorgana… Aku berhasil mencapai rumah mungil yang punya kobaran api di dalamnya… Aku mengetuk pintu… Satu, dua, tiga, sepuluh, enam puluh detik, tak ada yang datang membukakan pintu… Aku tahu, selama apa pun aku menunggu, tak akan ada yang akan menyambutku… Dan aku kembali terjebak dalam putihku, putih yang indah tapi kejam…
Dan kini, aku kembali terjebak di dalam ruang yang tak kuinginkan… Kini aku sedang berenang, berenang, dan terus berenang… Aku berada di lautan… Aku lelah, tangan dan kakiku tak berhenti mencari keseimbangan di tengah ombak yang terus menerus melawan arahku… Tapi aku tak boleh menyerah… Aku punya tujuan… Tujuanku adalah pulau kecil di seberang sana… Aku tahu aku harus berusaha menggapai tujuanku… Aku harus mencapai pulau kecil itu untuk mendapatkan apa yang selama ini hilang dalam hidupku… Aku terus berenang, berenang, dan berenang… Rasa lelah mulai menggerayangi tubuhku… Lelah, lapar, dan haus bercampur jadi satu… Dan aku terus berenang, berenang, daaan berenang… Aku tak boleh menyerah… Tak boleh… Aku tetap harus berusaha mencapai apa yang aku targetkan… Namun, apa mau dikata, raungan ombak dan dalamnya laut yang seperti ingin memakanku tak mengizinkan pulauku merangkulku… Aku terlalu lelah untuk menggerakkan kaki dan tanganku… Aku tenggelam…
U’re the best I’ve ever had