Friday, May 29, 2009

Once upon a time, they lived happily ever after...


Once upon a time, there lived a princess.

That's very classical sentence to start a story with. Once upon a time bla bla bla always works well to impress fairy tale readers and transfer them to a fantasy world. The prince-princess-evil-wizard-kind-of-things story will not complete without the magic sealing sentence, "And they live happily ever after."

And, oh, another thing that is very likely in a fairy tale is a kiss, a true love's kiss.
I remember, one of my blogger friends have ever discussed about this in one of her posts, and now, I just want to write about what I have just thought.

So to find a life with endless bliss, just find who you love through true love's kiss
That's a quote I took from a Disney movie I've just watched, Enchanted. Yeah, I know, it's been released a long long long time ago. Okay, not that long, but the point is I just watched it today, after it's been wandering in the market for two years or so. I am so outdated, huh?

Enchanted, another splendid movie from Disney, told us about a kingdom called Andalasia. In this kingdom lived Prince Edward with his stepmother, Queen Narrisa as the royal family. The queen was very scared of the prince getting married and being a king, so that she would lose her crown. She tried so hard to prevent Edward from meeting with a girl he would fall for.

But, the fate led the prince to meet Gissele, a girl who lived near the forest. They found that each of them would complete their duet and decided to get married right away.

See? This is my question: is it that easy to get married? You find the one that can make your heart beating faster and then you two can walk along as husband and wife right away?

Ok, keep that question. Let the movie go on.
The queen, of course, didn't expect the prince to have a wedding, so she tried to fail the royal ceremony. She disguised herself as an old woman and dragged Giselle to a well. She pushed her into the well, sent her to a world where there was no happily-ever-after things.

And the adventure started here. The future princess of Andalasia was sent to New York. It was very funny to see her wearing the wedding gown in the crowd of American, swaying here and there without knowing where she was. But later, she met with Robert and his 6-year-old daughter, Morgan, who gave her a great help throughout her journey.

Robert was in a relationship with Nancy, while Giselle was waiting for Prince Edward to rescue her. 
Robert was about to propose Nancy after 5 years having a love relationship, while Giselle was about to share a true love's kiss with Prince Edward even before their relationship lasted for one day.
Robert taught Gissele that people needed some times for dating to know thoroughly about each other before deciding to get married, while Giselle persuaded Robert to believe that every girl wanted a proof of how much her love loved her and helped her to show it.

Both of them had their own world and they spent some times together for a strange reason. They just bumped to each other by destiny. Yeah, destiny.
And, without their realization, they fell for each other although they still denied it.

After struggling so hard, finally, Prince Edward came to take Giselle back to their world, Andalasia. But, before they got back, Giselle insisted to have a date with the prince. 

They went to the ball and Giselle promised that they would go back right after the ball ended, but unfortunately, or fortunately, I don't know, both Giselle and Robert realized their affections for each other in this event. Giselle didn't want to ruin her ideal image about the love she had for the prince but deep inside, she didn't want to leave Robert.

Out of nowhere, the old woman came back and gave her an apple. She convinced Giselle to eat the thing so that she would forget about her journey in New York, and also about Robert. She bit the red apple and fell completely unconscious.

Then, of course, you can guess precisely, the prince-finally-kiss-the-princess-to-wake-her-up part came to the stage. Finally, her precious true love's kiss she saved for the prince came true, but it didn't wake her up. She's still there, motionless.

And see, the first kiss you save for the one you think you love doesn't mean your true love's kiss. You may think you love someone, but actually the person is not the one destined for you.

And, tadaaaaaa, Robert was the one. He awakened her from her sleep and brought her another life. Of course, at the end, after a long story of Giselle rescued Robert, they lived happily ever after, like usual.

Omigod, I just realized, I've just spoiled all the story. But, it's ok, huh? The movie was soooooo old already. Haha. Most of you must have watched it, anyway.

This movie teach me that the fairytale is not more than a fantasy, a dream. A kiss will never ensure you a true love, there's no a marriage right away after the kiss, and a princess can also rescue the prince. But, one thing for sure, a happily ever after ending is real.

Just like my old habit to quote words from everything I heard and saw, these are some of my favourites:
  • You got to show her you love her, don't treat her like a mindreader
  • He finds his own way to tell you, with the little things he'll do. That's how you know he's your love
  • Everybody wants to live happily ever after, everybody wants to know that their true love is true
  • The lovey-dovey things you talked about is just a fantasy! And one day you have to wake up and find you are in the real world!

And, of course, the most impressive dialog at the end of the movie
Giselle : Is that your habit or something of falling off of stuffs?
Robert: Only when you're around to catch me

Omigod, so romantic!!!!!!
Let's fight for our own happy ending!

Happy fairytale!

U're the best I've ever had
~FeN~
Read Comments

Sebuah Cerita

Data input












Processing
|||||||||||||||||||||||||||||||


Output

Tik, tak, tik, tak. Jam tangan Shinta tak henti-hentinya berdetak. Jarum jam telah bergerak empat angka sejak ia tiba dan mulai menanti. Matahari telah bergeser lima derajat ke arah barat, membuat bayangan tubuhnya yang semampai sedikit memendek. Berdiri ia di sana, di antara pedagang asongan yang lalu lalang menjajakan rokok dan air mineral, tukang semir sepatu yang menawarkan jasa kepada pria-pria perlente yang lewat, dan supir-supir yang berusaha menjejalkan semua orang ke dalam angkot yang kelihatannya bisa meledak kapan saja. Dua puluh menit ia telah berdiri di sana, menolak tawaran semir, rokok, dan tumpangan, karena hanya satu yang akan dia terima, yaitu Rama.

*******

Setengah berlari, Rama menyusuri koridor terbuka. Asin peluh yang bercucuran di kening dan membasahi bajunya tak lagi ia perdulikan. Setelah memarkir sepeda motornya sembarangan, ia bergegas memasuki area terminal. Matanya awas, menjelajah mencari sosok gadis kecil berkuncir kuda yang ada dalam ingatannya. Bagaimana rupanya sekarang, semakin cantikkah? Fokus, ia  harus menemukan Shinta, bukannya pengamen yang sibuk sendiri menghitung receh di pojok atau tukang parkir yang terus-menerus meniup peluitnya. Sial, batinnya. Mata dan kakinya terus menyusur terminal itu, sementara otaknya menyusur waktu, kembali ke sepuluh tahun yang lalu.

Rama kecil baru saja kembali dari sekolah. Cepat-cepat ia mengganti seragamnya yang sudah mulai terlalu sempit dengan kaos asal-asalan yang ditariknya dari lemari. Tubuhnya yang semakin meninggi membuatnya tak lagi nyaman mengenakan seragam putih biru itu. Ingin rasanya ia cepat-cepat bermetamorfosis menjadi siswa SMA, dengan seragam putih abu-abu yang gagah, tapi apa daya, ia masih harus menunggu dua tahun lagi. Ia mendesah, menyesali waktu yang berjalan begitu lambat, sampai tiba-tiba suara deru mobil membuyarkan angan-angannya akan masa SMA yang indah. Ia berjalan keluar dan menemukan sebuah Mitsubishi Colt Diesel terparkir di depan rumah tetangganya.

Beberapa orang bertampang kasar keluar dari rumah itu, menggotong barang demi barang yang dikenalinya sebagai sofa di ruang tamu, meja makan, meja rias, dan perabotan-perabotan lain milik tetangganya. Ia hanya berdiri di sana, terheran-heran.

“Rama,” suara lembut seorang anak perempuan dari balik pagar membuyarkan lamunannya.

Rama tersentak. Shinta sudah berdiri di depan rumahnya, tetap dengan pita merah jambu di kuncir ekor kudanya. Shinta, entah sejak kapan ia berubah menjadi sedemikian cantik. Kulitnya yang putih, bulu matanya yang lentik, dan tubuhnya yang semakin meninggi sejak ia menginjak usia remaja membuat Rama tergila-gila padanya. Padahal ia sangat ingat, dulu sekali, sebelum ada cinta di hatinya buat Shinta, ia sering tak memperdulikan rengekan cengeng gadis itu. Cewek begitu menyebalkan, pikirnya. Namun sekarang, ketika bunga cinta itu telah mekar sempurna, Shinta tak lagi ada pada kebiasaannya merengek, dan sepi berdesir di hati Rama. Ia rindu isak tangis Shinta.

“Rama,” panggil Shinta lagi. Kali ini ia sudah berdiri persis di depan Rama, membuka pagar bagi dirinya sendiri, kebiasaan lama, “Kenapa nggak jawab, sih? Dari tadi Shinta panggil-panggil.”

Rama gelagapan, “Maaf, maaf,” ujarnya, “Itu kenapa, ya? Kok barang-barang di rumah Shinta dikeluarin semua?”

“Iya, Shinta mau pindah,” jawabnya pelan. Raut wajah manisnya seketika berubah sendu. Ingin rasanya Rama menarik gadis kecil itu ke dalam pelukannya dan membelai helaian rambut indahnya. Hanya saja, tak cukup keberanian yang ia punya.

“Papa dipindahin ke Bandung,” lanjutnya mencoba menjelaskan, “Shinta sedih. Shinta nggak mau pindah. Shinta nggak mau jauh dari temen-temen. Shinta nggak mau jauh-jauh dari Rama.”

Oh, hati Rama seketika serasa ingin meledak. Ia bahagia dalam kesedihan. Ternyata di dalam hati gadis itu, kehadiran Rama sangat berarti. Ia bahagia, tapi kebahagiaan itu tak ada artinya karena sesaat lagi jarak ratusan kilometer akan memisahkan mereka. Sungguh miris, mengapa ia harus sadar bahwa cintanya tak bertepuk sebelah tangan saat Shinta justru akan menjauh dari kehidupannya?

“Shinta,” Rama mencoba berkata-kata, “Rama pasti kangen sama Shinta.”

Gadis itu tersenyum lembut. “Shinta juga.”

Dan sore itu, diiringi deru Mitsubishi Colt Diesel dan celoteh para pekerja yang mengangkut-angkut barang, mentari senja jadi saksi romantisme dua remaja yang menemukan esensi dari sebuah perasaan tulus yang bernama cinta.

*******

Shinta lelah. Perjalanan Bandung-Jakarta ternyata cukup melelahkan, ditambah lagi ia harus menanti dan menanti tanpa henti. Satu jam telah ia lewati dengan ditemani pedagang asongan yang tak henti-hentinya menawarkan air mineral, permen, dan tissue basah kepadanya dan hanya dijawabnya dengan gelengan kepala. Kini, keyakinannya akan kehadiran Rama semakin menipis. Saat ia menulis suratnya kepada Rama beberapa bulan yang lalu, mengabarkan kedatangannya ke Jakarta, ia yakin Rama masih mengingatnya walau selama sepuluh tahun pegunungan memisahkan mereka. Mereka punya cinta. Namun kini, tak lagi ia berani berharap. Sepuluh tahun tanpa komunikasi, bukan mustahil jika saat ini Rama telah miliki kekasih hati yang lain. Toh dulu Shinta pergi begitu saja. Dan sekarang ia sadar, cinta saja tak akan mampu bertahan tanpa komunikasi, tapi nampaknya, kesadaran itu datang sedikit terlambat.

Miris. Ia tertawa sendiri. Sepuluh tahun yang lalu ia pergi begitu saja dari kehidupan Rama tanpa membawa apa-apa selain cinta. Bahkan deretan angka-angka untuk membunyikan telepon di rumah lelaki itu pun ia tak punya. Dan kini ia belajar, tidak menyimpan nomor telepon tetangga adalah sebuah kebodohan mutlak.

*******

Hari-hari sesudah kepindahan Shinta menyisakan lubang di hati Rama kecil. Ia menghabiskan masa-masa remajanya dengan merindukan pita merah jambu di kuncir ekor kuda itu. Bukannya tak ada gadis-gadis yang mencoba mendekatinya, tapi tak satu pun digubrisnya, seolah hatinya telah terkunci dan kuncinya ia buang jauh ke Laut Jawa. Detik demi detik ia lalui dengan mengkhayalkan Shinta jauh di atas sana. Ia tahu Shinta juga punya perasaan yang sama padanya, tapi kenapa tak sekali pun dering telepon di ruang keluarga itu berasal darinya? Kenapa tak sekali pun amplop-amplop coklat di meja ruang tamu itu berisi tulisan tangannya? Kenapa?

Hingga suatu hari di bulan November tiga bulan yang lalu, sebuah amplop merah jambu menarik perhatiannya. Amplop itu terkubur bersama amplop-amplop coklat tak berguna lainnya, tapi seolah ada magnet yang menariknya, Rama seketika langsung mengetahui ada yang berbeda di tumpukan surat yang sejak lima tahun yang lalu tak pernah lagi ia gubris keberadaannya. Dan betapa bahagianya ia, ketika melihat barisan huruf-huruf yang ditulis dengan penuh cinta itu.

Namun, kebahagiaan Rama telah menguap sempurna sekarang. Sendiri, ia terduduk lemas di salah satu bangku yang tersedia di terminal itu. Peluh membanjiri tubuhnya. Sudah tiga kali ia berkeliling tanpa hasil. Tanda tanya pun sudah terlontar ke mana-nama, tapi apa daya, tak ada informasi yang dapat membantunya melacak keberadaan Shinta. Dalam satu jam ada tiga bus tiba dari Bandung, dan tak ada yang tahu di bus yang manakah Shinta menghabiskan tiga jam perjalanannya.

Sial, gerutunya, kenapa ia harus terlambat? Kenapa teman-temannya harus datang ke rumahnya subuh-subuh hanya untuk membawa sepotong kue ulang tahun dengan 22 lilin dan menyebabkan ia terlambat bangun untuk sebuah janji yang sangat penting dalam hidupnya?

Dan ia merogoh saku jaketnya, mengeluarkan amplop merah jambu yang telah kusut karena dibawa ke segala tempat olehnya, walaupun hanya berani dibacanya satu kali. Dibukanya pelan-pelan lipatan kertas lusuh itu dan dibacanya dengan mata nanar. Mungkin ia tak akan lagi punya kesempatan untuk bertemu Shinta, hanya karena sedikit kebodohan.

Rama,

Tak ada yang berubah di hati ini walaupun sepuluh tahun telah berlalu sejak sore itu. Tak ada surat bukan berarti tak ada cinta. Cinta ini tetap tumbuh dan berkembang walau terhalang oleh gunung dan lembah. Anggaplah sepuluh tahun ini ujian bagi engkau dan aku untuk meyakinkan diri bahwa cinta kita tidak salah memilih.

Tiga bulan lagi, di hari ulang tahunmu, aku akan menemuimu untuk meyakinkan cinta ini. Aku akan melanjutkan hidupku di Jakarta, kembali ke pelukanmu. Jika memang kau masih menyimpan asa padaku, dan aku yakin itu, jemputlah aku di Stasiun Gambir. Jam 10.30.

Dan cinta kita akan bermekaran selamanya.

Cintaku padamu,

Shinta

Jemputlah aku di Stasiun Gambir.

Jemputlah aku di Stasiun Gambir.

Jemputlah aku di Stasiun Gambir. 

Rama mendengar gaung suara itu berulang-ulang dalam kepalanya. Terlonjak ia dari kursi reyot yang sedang didudukinya, di mana ia sekarang? Sialan, gerutunya dalam hati. Ia datang ke tempat yang salah. Sekuat tenaga ia berlari keluar, menghidupkan sepeda motornya, dan melaju kencang ke Gambir. Shinta, jangan pergi, kumohon!

*******

Handphone Shinta mulai bersenandung. Cepat-cepat ia mengambil benda mungil itu, menekan salah satu tombol, dan menempelkannya di telinga kirinya.

“Ya? Ada apa, Ma?” jawab Shinta.

“Kamu di mana, toh, Nak? Kenapa nggak sampe-sampe ke rumah tante? Kamu nggak kesasar, kan?” tanya ibunya di seberang sana tanpa jeda napas.

Shinta tersenyum, “Teman Shinta telat jemputnya. Mungkin dia nggak bisa datang. Shinta naik taksi, deh. Dah, Mama.”

Ia tersenyum miris. The time is up, she should have given this up from the start. Ia beranjak, menarik koper yang sejak tadi membisu di sisinya. Perlahan, ia berjalan selangkah demi selangkah, meninggalkan Gambir yang tak ubahnya lautan manusia. Meninggalkan asa akan Rama yang layu seketika walau telah dipupuk sekian lama.

*******

Berlari lagi, Rama berlari lagi. Kereta yang entah dari mana baru saja tiba, dan Gambir seperti penuh sesak oleh ribuan supporter bola dalam final Piala Dunia. Hanya saja, tak ada gawang dan lapangan hijau di stasiun ini. Lalu untuk apa manusia sebanyak ini berkumpul di satu titik di kota yang luas ini? Sebagian dari mereka baru menjejakkan kaki di tanah Jakarta, sebagian menjemput saudara mereka yang baru tiba, dan sebagian lagi memang mencari sesuap nasi di sana. Ia tidak termasuk ketiganya. Rama di sana, untuk memperpanjang napas harapannya akan cinta. Dengan mata yang terus menjelajah ke segala sudut, ia menerobos masuk ke dalam stasiun, berharap Shinta masih di sana, menunggunya dengan sekotak besar cinta yang tak akan pernah bisa habis.

Dan ia tak pernah sadar, seorang gadis berkuncir kuda dengan pita merah jambu sedang berjalan selangkah demi selangkah meninggalkan Gambir, meninggalkan dirinya yang terguyur peluh.


Log off
|||||||||||||||

U're the best I've ever had
~FeN~
Read Comments

Wednesday, May 27, 2009

Sweep the ink with the heart, Inkheart

Liburan saya dipenuhi kegiatan berleha-leha. Setiap hari kerja saya hanya menghabiskan waktu dan hari ini saya menonton sebuah film yang diadaptasi dari sebuah novel karangan Cornelia Funke dengan judul serupa, Inkheart.

Film ini bercerita tentang seorang pria yang gifted, dianugerahi kekuatan untuk membawa apa pun yang dibacanya ke dunia nyata. Mereka menyebutnya Silvertounge. Everything he reads out loud will come to reality, but everything comes out of the book must be paid with something goes into the paper.

Istrinya tersedot ke dalam buku saat ia membacakan sebuah buku, Inkheart, untuk anaknya dan mengeluarkan puluhan raksasa dan penjahat. Sejak saat itu, tak lagi ia berani mengeluarkan suaranya untuk membaca buku apapun.

Sembilan tahun berlalu sejak saat itu dan sampailah mereka pada titik di mana film ini mulai berjalan. Sang pria menemukan kembali Inkheart, dan petualangannya pun dimulai.

Jangan paksa saya untuk menceritakan ulang isi film ini. I will not spoil you all. Just watch and you will find it very interesting. Hmm, I must say, this movie is recommended!^^

Hobi saya membaca dan saya ingin jadi penulis. Beberapa hari ini saya sedang getol-getolnya menulis, walaupun apa yang saya tulis kebanyakan terpotong di tengah jalan: writer's block, begitu istiah kerennya. Belakangan ini saya banyak memikirkan hobi saya menulis dan membaca, dan kebetulan film yang saya tonton hari ini bercerita tentang buku, membaca dan menulis.

Dalam sebuah scene di mana si anak perempuan yang juga memiliki kemampuan serupa ayahnya dipaksa mengeluarkan Shadow, monster raksasa yang mengerikan, saya terpana dengan sepotong dialognya

Ayah: Keep reading! Keep reading!
Anak: But there's nothing left to read!
Ayah: Then write! (melemparkan sebuah pena)
Lalu si anak menulis dan membaca apa yang telah ia tulis, membuat sebuah akhir yang indah untuk mereka semua.

Keren, kan? Jika tak ada yang bisa dibaca, menulislah! Buatlah akhir yang indah sesuai dengan yang kau ingini. Kita semua punya hak untuk ending apapun yang kita suka. Saya suka open ending, supaya saya bisa menulis sambil membaca. Sekali mendayung dua tiga pulau terlewati, begitu kata mereka.

Saya mulai membaca sejak TK dan saya mulai menulis sejak kelas 4 SD. Hobi ini bagaikan bola salju yang terus saya gulingkan di atas salju, memeliharanya hingga menjadi semakin besar, besar, dan besar. Hingga sampai pada suatu titik, saya memutuskan ingin masuk jurusan komunikasi dan jurnalisme. Saya mau membaca, saya mau menulis.

Hanya saja, takdir berkata lain. Saya tak ditakdirkan untuk menjalani major di bidang ini. Biarkan saja, yang penting saya tetap menulis. I can still be a writer, right? At least, a blog writer. Hahaha.

Kata-kata favorit saya di film ini:
Being a writer is a bit lonely. Sometimes the world you create on a page seems more friendly and alive than the world you actually live in.

Happy writing!
Let's create a beautiful world!
^^

U're the best I've ever had
~FeN~
Read Comments

Virtuality


You and I, we are attached in virtuality
In silence, we are attached in virtuality

You bring me a world, the virtual world
The only one we have, the virtual world

Virtually, we play around
We laugh
We share jokes

Virtually, we scream
We get angry
We cry

Together in virtuality, we spend times
Together in virtuality, we are attached

Everything virtual, that's what we are

U're the best I've ever had
~FeN~
Read Comments

Tuesday, May 26, 2009

Holidaelicious

Forgive me for the lack of post these days. My bad, I always abandon my blog when I get back into my lovely shelter. I think no one bother to check my blog out to find any updates. Lol. No updated post doesn’t mean that I don’t have anything to write, I just don’t know what to write when I sit in front of my computer screen although my fingers miss typing very much.

 

So now, I am here, trying to type anything I want to type.

 

I have been here for about twenty days and all I have done is wasting. I waste the time; enjoy the plain excitement of holiday time. I waste the quota of internet connection. I waste the electricity and water.  I even waste the oxygen. Lol. In short, I waste my parents’ money. Haha.

 

Actually, I have nothing to do since I got back here about three weeks ago. I was, and still I am, idle forever.

 

#1 Miss

When I was there, I missed my home, my family, my mom. And now, I am here, I miss my friends. Limited access of internet prevents me from interacting with them. Half of my NTU friends are still in Singapore doing their projects , my friends in Palembang are still very busy with their school works, and friends from NTU that came home with me cannot meet too frequently due to limited mobility. So, I miss something that is missing from my usual daily life, but never say that I feel bored here. I am completely happy, but I miss hanging out with my pals.

 

#2 Work

Usually, when I got back home, I helped my mom with chores. But this holiday is different. My mom just hired a new maid several days before I came home, so I had no chores to do anymore. I just waste everything, as I have said before, so to kill my time, I tried to help my dad. Since he has no secretary, I am trying to be his this time. I type letters and documents for him. But still, I don’t have many things to do. Letters and documents are limited, so what else I do? Some leceh-leceh things here and there.

 

#3 Traffic

I am learning to drive now. Actually, I have been learning it since last year, and until now, I still have not enough bravery to drive alone. I am afraid of other vehicles. I think I can’t withstand the pressure of traffic. But, still, I have to keep practicing. Pray for me. Haha.

 

#4 Music

Coming back home, I found a bunch of new songs as well as new singers. Some captured my ears, of course, but some are just stepping into the music industry by luck and some more things. I can’t sing but I can distinguish good and bad voice. Just imagine, all Indonesian drama stars are singing now! Fiuh, sorry to say, but I must, they are just crap.

Ok, forget about them. Just don’t listen to their songs.

Despite those ‘Aji Mumpung’ artists, the singers are sooooo fantastic. A new group of band that is somehow phenomenal now is Kuburan. A unique name they have, don’t they? They also have a unique way of dressing themselves. Just search them in Youtube if you want to see their uniqueness.

Besides Kuburan, I also like the new single of Vidi Aldiano, Status Palsu. Kyaaaaa, he is sooooo charming and his voice is charming also. I am glad he didn’t make it to join Indonesian Idol, so that he can be that famous now.

Actually, there are still so many singers with so many new songs. I like Lyla. I like Nidji. I like Gita Gutawa. Fight, music industry of Indonesia!

 

#5 Television

Indonesian television programs are full of s*** now. Every channel is copying each other. RCTI, SCTV, and Trans TV are just identical to each other: music programs and reality shows. I have nothing to comment about those music things since I like to get updated about those new songs, but for those reality shows, oh my God, I just want to get angry anytime I see each of them. They are full of lies, lies, lies, and lies.

I am just sad for the quality of Indonesian reality shows. Why can’t they create something like that ‘something Nanny’ show?

Due to my boredom to those things, I switch my interest to TV One and Metro TV. See? It was never written in history that Febrina would be addicted to those factual reports and debate things. Lalala.

 

#6 President election

Indonesia is preparing for another party! Yeah, the second round party is in front of us now. This time election will be the election for president and vice president. Three president and vice president elects are Jusuf Kalla – Wiranto (JK WIN), Megawati Soekarno Putri – Prabowo Subianto (MEGA PRO), and Susilo Bambang Yudhoyono – Boediono (SBY BERBOEDI). This July will be the time and I will vote, too. I hope the best leader will be elected. I hope all Indonesians don’t choose the wrong one. I hope Indonesia will be better and better.

Hidup Indonesia!

 

#7 A new semester

I know it’s too early to talk about it, but I have started thinking about my new semester since the cutoff point for having a room in NTU was announced and the examination results online slip was released. I didn’t achieve my target this semester, but I promise to try harder next semester. Next semester, a new semester, will be another segment of my university life: a new study life, a new extracurricular activity, a new position in whatever club, a new spirit, a new this, a new that. Everything new!

Fight!

 

#8 Book

I have spent quite a lot of money in book hunting. I have read Rectoverso and really, it’s recommended. Dee’s words are soooooooo fabulous. I hope I can be like her. Another book I read is ‘Charlie’, a daily journal of an idiot-genius man. And now, I am going through a political book, ‘Intrik dan Lobi Politik Para Penguasa: Dari Soekarno hingga SBY’.

Yeah, my reading interest is not teenlit anymore. I have stepped to a higher level, maybe. I don’t care, the important thing is I am still reading. Haha.

Happy reading!

 

#9 Food

They say that going back to Palembang is never real before you eat PEMPEK, but, to be honest, until this time I type this post, I have never touched the Palembang fish cake. I have eaten this and that, especially those ‘jajanan pasar’ I like very much, but for pempek, I have never eaten it. Laugh at me as you wish, but I don’t feel  weird or something. I like pempek, but I will not die by not pushing it into my intestine. As long as I can taste my mom’s cooking, no pempek is never a matter. Lol.


U're the best I've ever had
~FeN~
Read Comments

Sunday, May 17, 2009

Today

And today, I touched the hand. It's as cold as ice, as fragile as glass. I felt like crying, but my tears were just clogged there, inside my heart.

Oh, If I were the lying body there, I would wish for death.
Maybe she's also wishing for the same thing, someone told me.

Yeah, maybe.

That's why I am pro-euthanasia.

But, it's just impossible.

U're the best I've ever had
~FeN~
Read Comments

Saturday, May 16, 2009

Sebuah deskripsi

Dari ambang pintu kecil yang membatasi ruang terang benderang dan sebuah kamar mungil gelap gulita, kulihat ia terbaring dalam rengkuhan kain tipis bercorak batik. Bahkan dalam balutan selimut, aku tahu bahwa tubuhnya kini semakin meringkih. Ia sedang tertidur, tidur begitu dalam, begitu pulas. Hari itu, hanya kulihat punggungnya dan aku pergi.

Lagi, aku kembali. Kali ini kulihat ia duduk di kursi rotan favoritnya. Ia duduk di sana, di ambang pintu perbatasan terang dan gelap. Pandangannya kosong. HIngar bingar ocehan orang-orang di bawah siraman cahaya lampu neon maupun sendu sedih suara hatinya dalam pekatnya kegelapan tak digubrisnya. Ia hanya duduk di sana, dalam kekosongan.

Dan kali ini, ia tidak tidur memunggungiku. Ia duduk menghadapku. Raganya bertemu ragaku face to face, tapi jiwaku sibuk mencari jiwanya yang terselip entah di mana. Tubuhnya benar-benar kurus, tulang dibalut kulit, tanpa daging. Dapat kulihat cetakan tulang-tulang rusuknya di balik bajunya yang kini kelonggaran. Aku berusaha membetulkan bajunya yang melorot di bahu dan aku menyentuh punggungnya yang kurasa begitu fragile, begitu rapuh.

Untuk sesaat kukira aku akan menangis. Aku ingin menyentuh punggung tangannya, menggenggam jemarinya, mengelus bahunya. Namun, aku takut. Aku takut sentuhanku akan menghancurkannya, meremukkan tulang-tulangnya, membuatnya jadi debu yang berserakan di lantai pualam.

Kuajak dia berbicara, tapi ia tak lagi ingat aku. Kutanya ia ini dan itu, tapi jawabannya selalu tak nyambung. Suaranya lirih, seperti hanya bergumam pada diri sendiri. Organ-organ tubuhnya masih bekerja, hanya saja separuh nyawanya seperti telah hilang.

Ingin sekali aku berteriak, menjerit-jerit, menggantikannya meratapi nasib yang mencincang-cincang habis kebahagiaannya. Tak  mampu lagi ia melakukan apa-apa. Kini semua aktivitasnya hanya berputar-putar di antara sebuah ranjang yang hampir aus, sebuah kursi rotan di ambang gelap dan terang, dan sebuah kamar mandi berlantai merah marun. Tak bisa lagi ia naik turun tangga sampai lantai empat. Tak mampu lagi ia duduk-duduk menikmati telenovela yang bahkan ia sendiri tak jelas alur ceritanya. Tak kuat lagi ia menyuruhku makan, mandi, dan pergi les tiga puluh menit lebih awal.

Aku, di sini, hanya ingin menangis untuknya.

U're the best I've ever had
~FeN~
Read Comments

Tuesday, May 12, 2009

Farewell


Kering sudah air mata ini berlinang
Tak ingin lagi ada kata teruntai untuknya
Tapi di hati ini masih berserakan debu cintanya

Can all be swept at one shot?

Bisakah aku katakan 'selamat tinggal' sekarang?
Can I let it go with a sincere smile?

Farewell

U're the best I've ever had
~FeN~
Read Comments

Sunday, May 10, 2009

Terimakasih, Mama

Today is a special day!
Mother's day!

Errr, bukankah hari ibu itu jatuh pada tanggal 22 Desember? Iya, di Indonesia saja. Di kebanyakan negara-negara di dunia, hari ibu diperingati pada hari minggu kedua di bulan Mei yang tahun ini jatuh pada tanggal 10 Mei. 

Bagi saya, tanggal-tanggal itu tidak penting. Mau 22 Desember, 10 Mei, 7 Maret, 13 Oktober, ataupun 29 Februari, terserah. Yang penting, tetap ada sebuah simbol apresiasi untuk perjuangan seorang ibu. Bagi saya, hari ibu adalah 1 Januari sampai 31 Desember tanpa henti. She's very special everyday!

Lalu, jika seorang ibu dan perjuangannya begitu diagung-agungkan, mengapa masih banyak saja 'Malin Kundang' modern di dunia ini? 
Ketika seorang ibu sudah tak sanggup menyandang tubuhnya sendiri, anak-anaknya tak mau jadi kakinya, tak ingin jadi tangannya, tak sudi jadi matanya. 
Padahal jika kita kembali ke puluhan tahun silam, ketika anak-anaknya masih tak mampu melakukan apa pun, seorang ibulah yang dengan setia merelakan seluruh waktunya untuk si anak. Ia rela mengotori tangannya dengan kotoran si anak, ia tak mengeluh harus berulang-ulang membersihkan rumah yang tak henti-hentinya dikotori oleh muntah si anak, ia bahagia mampu mencuci bertumpuk-tumpuk baju kotor si anak. Ia bahagia bahwa ia bisa bermandi peluh demi anak-anaknya.

Keagungan seorang ibu dibalas dengan nistanya oleh si anak. Pantaskah?

Janji saya kepada diri saya sendiri: bagaimana pun, saya tak mau meninggalkan ibu saya.
Tolong ingatkan saya jika saya sudah mulai melupakan apa yang saya tuliskan di sini. Tolong kembalikan saya ke jalan yang benar jika saya sudah mulai berbelok.

Hari ini Mother's Day. Saya tak melakukan apa-apa untuk ibu saya. Sungguh, saya bingung mau melakukan apa. Membeli kado? Tak tahu mau membeli apa, tak punya rupiah yang cukup, tak punya kendaraan untuk pergi membeli. Lalu? Apa yang saya lakukan? Saya hanya bisa bermanja-manja padanya.

Apakah itu cukup?
Saya tak tahu.

Sebenarnya, ada satu hal yang ingin saya lakukan, ingin sekali. Saya ingin mengatakan hal ini kepada mama secara langsung. Saya ingin bilang, "Ma, Fenfen sayang mama."

Namun, hingga saat ini, saya belum pernah mengungkapkannya secara verbal. Kebiasaan orang timur yang lebih tertutup dan tidak ekspresif menghalangi keberanian saya untuk mengekspresikan cinta saya yang mendalam. Padahal saya ingin.

Mari kita coba melihat lagi lebih dalam, pernahkah kita mengatakan cinta kepada ibu secara langsung? Bandingkan, berapa seringkah kita mengatakan cinta kepada pacar atau gebetan? Mengapa kita mampu mengungkapkan cinta kepada pasangan, tetapi begitu sulit bilang cinta kepada bunda? Mengapa?

Lalu, kapan terakhir kali kita membiarkan ibu mencium pipi kita? Kapan terakhir kali kita bergandengan tangan dengan ibu kita? Kapan terakhir kali kita memeluk ibu kita? Kapan? Sudah lamakah? Ataukah sudah tidak ingat lagi?

Saya merasa beruntung karena saya masih senang-senang saja membiarkan mama mencium pipi saya di bandara sementara banyak teman-teman saya yang merasa bakalan sangat malu jika dicium pipinya di depan umum. Saya merasa sangat beruntung karena saya masih sangat sering berjalan menggandeng tangan mama di tempat-tempat umum. Saya merasa sangat beruntung karena di kesempatan-kesempatan tertentu saya masih sanggup mengekspresikan kasih sayang dan rasa terimakasih saya dengan memeluk mama.

Saya beruntung.
Dan saya akan merasa jauh lebih beruntung ketika saya mampu mengatakan kepada mama betapa saya mencintainya secara langsung. Ya, secara langsung, bukan melalui blog yang mungkin tak dibacanya atau facebook yang ia tak punya account-nya.



Mama, selamat hari ibu.
Mungkin Fenfen sering bikin Mama kesel, marah, dan mungkin nangis. Mungkin Fenfen sering membuat Mama sakit hati. Mungkin Fenfen sering membebani Mama.
Tapi, Mama harus tau, Fenfen sayang Mama melebihi apa pun.
Mama adalah mama terhebat sejagad raya.
Terimakasih Mama udah menemani hari-hari Fenfen selama hampir 20 tahun. Terimakasih Mama udah merawat Fenfen setiap kali Fenfen sakit, mulai dari sakit yang leceh-leceh sampai yang parah. Terimakasih Mama udah menyekolahkan Fenfen, mencukupi semua kebutuhan Fenfen, memperhatikan gizi buat Fenfen. Terimakasih buat semuanya.
Terimakasih buat malam-malam kesepian yang Mama ubah jadi meriah. Terimakasih buat hari-hari menyedihkan yang Mama sulap jadi terang benderang. Terimakasih buat masa-masa kelam yang mama jadikan begitu berwarna. Terimakasih.
Terimakasih Fenfen dari hati yang paling dalam, buat Mama.

Sungguh, kata-kata di atas bukanlah sebuah karangan semata. Semuanya datang dari hati saya. 
Saya benar-benar mau berterimakasih kepada dirinya yang sudah begitu dekat dengan saya. Saya adalah bagian darinya. Tanpa dia, saya bukanlah apa-apa.

Saya jadi teringat sebuah buku yang saya baca resensinya di Popular minggu lalu. Buku itu bercerita tentang cinta seorang anak kepada ibunya, bahkan ketika ibunya tak mampu lagi mengingat namanya. Ibu si anak menderita alzheimer sehingga ia tak mampu mengingat potongan-potongan hidupnya yang nampaknya sepele tapi sebenarnya penting. Alzheimer merenggut sang ibu dari si anak, tetapi menghadiahkan momen-momen baru bagi mereka. 
Sejak positif menderita alzheimer, hubungan ibu dan si anak berubah.

Saya lupa judulnya, saya juga tak tahu buku ini bagus atau tidak. Yang saya tahu, saya, seperti si anak, akan selalu mencintai ibu saya, hingga akhir dunia.

Kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi tak harap kembali
Bagai sang surya menyinari dunia

U're the best I've ever had
~FeN~
Read Comments

Dua dunia

Kembali menginjakkan kaki di atas tegel kotak-kotak putih ini, aku merasa memasuki dunia yang lain. Rumah ini tak banyak berubah sejak kutinggalkan beberapa bulan yang lalu, hanya ada sebuah kompor baru menghiasi dapur dan seorang pembantu rumah tangga yang baru bekerja beberapa hari. Namun, angin yang mengelilingi rumah ini bukanlah angin yang sama,ia berubah, berubah dengan sangat cepat, sampai-sampai otakku tak sanggup mencerna perubahan yang terjadi.

Seperti baru memasuki pintu ke mana saja, otakku yang tadinya dipenuhi pikiran-pikiran yang berorientasi pada diriku sendiri berubah. Aku lebih banyak memikirkan orang-orang di sekitarku, tak lagi memikirkan bagaimana mengurus diriku sendiri dengan baik, bagaimana mencapai nilai-nilai yang bagus, bagaimana agar aku ini dan aku itu. Pokoknya pikiranku yang self-oriented di negeri singa sana telah bertransformasi menjadi family-oriented. Berubah, tanpa jeda, tanpa istirahat.

Dua dunia jungkir balik bertolak belakang
Meninggalkan yang satu, masuk ke yang lainnya

Dua dunia jungkir balik bertolak belakang
Sebuah pintu penghubung keduanya

Dua dunia jungkir balik bertolak belakang
Satu otakku memikirkan keduanya

Dua dunia jungkir balik bertolak belakang
Tak mampu pundakku menahan bebannya

I am so fragile, aren't I?

U're the best I've ever had
~FeN~
Read Comments

Thursday, May 07, 2009

EID DIE

My fellow Indonesian CEE mates in front of Bamboo Green House poster and model

My group's poster (Land Reclamation Using Box Caisson)

My group's model of caisson and structure above it plus the laptop used for the video

My group in front of our own poster (Namyo Salim - Han Xiaohan - Norashikin bte Komari - Lim Siyu - Febrina Aryani - Kurniawan Prasetya Pieth)

Fionna, Vindy, and I, three cute IndoCEE girl (muahaha, just admit that we are cute, case closed)

Me, after forcing Ahin to take a good picture of me (narcism to the max, lol)

Before the exhibition

Lazy?
Yes

Do unimportant thing?
Absolutely

Need to hang out?
Of course

In the middle of the exhibition

Exciting?
Somehow, yes

Fun?
Yup

Increasing adrenaline?
So rhetoric

After the exhibition

Tired?
No need to ask 

Dissapointed?
A bit

Relieved?
100%

At least, I learned something and tomorrow I can start my holiday!
Yeah!

U're the best I've ever had
~FeN~
Read Comments

Tuesday, May 05, 2009

Dulu, kini, dan nanti


Dulu
Bodohnya aku sungguh
Tak lihat dunia hanya karena lihat kamu


Kini
Bodohnya aku masih
Tak berhenti lihat kamu yang sudah jauh pergi


Nanti
Tak mau lagi aku terbodohi
Aku mau lihat dunia yang menari-nari
Aku mau dengar bumi menyanyi-nyanyi
Aku mau rasakan hidup yang penuh arti
Tapi
Aku tak mau lihat kamu lagi


U're the best I've ever had
~FeN~
Read Comments

Saturday, May 02, 2009

Laskar Pelangi, sebuah awal untuk jutaan mimpi...


Entah sudah berapa lama hasrat ini terpendam, dan pagi ini, akhirnya satu lagi wishlist saya berubah menjadi warna merah dan dicetak tebal. Iya, satu lagi keinginan saya terpenuhi. Pagi ini saya nonton LASKAR PELANGI!!!

Sungguh telat, iya. Sudah basi, mungkin. Tapi biarlah, yang penting saya sudah nonton dan saya puas. Terimakasih yang sebanyak-banyaknya buat 'Apel' yang sudah mengunduh film ini dan memberikannya kepada saya. Sungguh berterimakasih diri ini.^^.

Saya membaca novelnya ketika film-nya sudah tayang di bioskop-bioskop Indonesia. Terlambat. Saya menonton film-nya ketika film ini mulai melaksanakan road show keliling Australia. Lagi-lagi terlambat.

Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, kan?

Andrea Hirata sungguh membuat saya jatuh cinta setengah mati. Bagaimana pandangan saya terhadap novel Tetralogi Laskar Pelangi dapat dilihat di sini, dan di lembar ini, saya akan membahas tentang film yang diangkat dari buku pertamanya.

Tak ada aktor ganteng dan aktris cantik yang bisa dilihat di film ini. Saya ingat sekali, bagaimana antusiasme saya mengatakan kepada salah satu sepupu saya bahwa saya ingin menonton film Laskar Pelangi hanya dijawab dengan kalimat ini, "Ngapain nonton anak-anak dusun?"

Yeah, dan pada saat itu, saya hanya bisa terdiam sempurna, tak mampu berkata-kata. Apa, sih, yang sebenarnya kita cari dari sebuah film? Aktor dan aktris? Ataukah jalan cerita?
Jika tujuannya hanyalah melihat yang ganteng-ganteng dan cantik-cantik, pandangi saja poster-poster hadiah dari majalah. Jika yang diperhatikan adalah kualitas cerita, janganlah ragu untuk menonton film ini.

Memang benar, film adaptasi sebuah novel tidak akan bisa menyaingi novel itu sendiri. Bagaimana pun hebatnya si sutradara dan crew lainnya, mereka tak akan mampu menang melawan imajinasi pembaca yang liar. Bayangkan saja, satu orang akan punya satu gambaran, dan setiap orang akan memiliki gambaran yang berbeda. Ada jutaan pasang mata yang membaca novel bestseller itu. Lalu, bagaimanakah caranya satu film dapat mematahkan doktrin berbeda-beda yang tertanam di dalam otak sekian banyak manusia?

Saya sendiri menangkap begitu banyak perbedaan antara film yang baru saja saya tonton dan novel yang sudah saya baca sekitar setengah tahun yang lalu. 
  • Di film ini, Lintang yang berumur 6 tahun sendirian menggenjot sepeda di hari pertama sekolahnya sementara di dalam buku, Lintang yang bau hangus diantar oleh ayahnya yang seorang nelayan.
  • Film ini menceritakan kehidupan masa SD Laskar Pelangi, sementara Andrea Hirata menceritakan perjalanan Laskar Pelangi dari SD hingga SMP.
  • Seharusnya, jika mengikuti alur dalam buku, Ikal jatuh cinta pada A Ling di masa SMP-nya, sementara Ikal yang baru kelas 6 SD tergila-gila pada A Ling di film ini. Dan hal ini sebenarnya sangat mengganggu bagi saya. Mengapa? Karena tubuh Ikal yang masih sangat kecil dijejerkan dengan A Ling yang sudah mulai remaja. Bisa membayangkan bagaimana perbedaan tubuh cowok dan cewek kelas 6 SD, kan?
  • Film ini tidak menceritakan bagaimana Ikal, Mahar, dan teman-teman menjelajahi hutan untuk mencari Flo yang hilang. Tahu-tahu, Flo sudah kembali dan berkeras untuk masuk SD Muhammadiyah Gantong. Seharusnya Flo bergabung dengan Muhammadiyah pada masa SMP, tapi di film ini, Flo yang masih SD sudah bergabung dengan Laskar Pelangi.
  • Di film ini, Mahar dan Flo yang masih SD diceritakan sudah tertarik kepada ilmu-ilmu mistis dan menjelajah hutan demi hutan. Hal ini sangat tidak masuk akal bagi saya. Anak SD tergila-gila pada kekuatan supranatural? OMG.
  • Dalam Karnaval 17 Agustus, SD Muhammadiyah menampilkan tarian, tapi tarian yang ditampilkan di dalam novel dan divisualisasikan di film berbeda. Di dalam novel, tarian itu adalah tarian suku pedalaman Afrika yang menceritakan pertarungan manusia dan binatang buas, sementara tarian yang saya saksikan di film ini tak seliar yang seharusnya. Menurut saya, scene ini adalah bagian terburuk dari film ini. Saya mengharapkan lebih.
  • Seingat saya, novel Laskar Pelangi sama sekali tidak menceritakan Ibu Mus yang ditaksir oleh guru sekolah PN, tapi di film ini, Tora Sudhiro mengejar-ngejar Ibu Mus yang acuh tak acuh. Saya tak menganggap improvisasi ini sebagai sebuah masalah, toh, orang-orang lebih suka bila ada sedikit cinta-cintaan di dalam sebuah film.
  • Bapak Harfan diceritakan meninggal di film ini. Namun saya benar-benar tidak ingat, apakah beliau juga meninggal di dalam novel?
  • Lintang ditampilkan bertemu buaya dan Bodenga tepat pada hari lomba Cerdas Cermat antar-SD, sementara di dalam novel, kedua scene ini adalah hal yang terpisah satu sama lain.
  • Di dalam film, Lintang putus sekolah di saat SD, padahal seharusnya putusnya harapan Lintang untuk bersekolah adalah ketika SMP.
Di samping perbedaan-perbedaan yang sudah saya tuliskan di atas, Laskar Pelangi adalah sebuah film yang sangat patut ditonton. Tiga kali saya meneteskan air mata sepanjang film ini. 
Pertama kali adalah ketika Bapak Zulkarnaen mengunjungi Ibu Mus yang kehilangan semangat lantaran kepulangan Bapak Harfan. Beliau memberikan semangat kepada Ibu Mus untuk kembali mengajar anak-anak luar biasa itu. 
Ketika semangat Ibu Mus sudah terpompa, ia kembali ke sekolah dan mendapati Laskar Pelangi belajar dengan semangatnya di dalam kelas, dipimpin oleh Lintang. Di sini, hati saya kembali bergetar, dan sebutir lagi air mata jatuh ke pipi saya. 
Lalu, tentu saja, putusnya harapan Lintang untuk bersekolah membuat saya menangis lagi. Ia yang paling pandai yang paling cerdas, yang paling teguh hati, harus putus sekolah begitu saja dan menjadi tulang punggung keluarga. Sungguh menyedihkan.

Banyak kalimat-kalimat indah yang terlontar dari dialog-dialog antara tokoh-tokoh di dalam film ini. Beberapa kalimat favorit saya sepanjang film ini:
  1. Ibu Muslimah: Mimpi aku ini bukan jadi istri saudagar, Pak. Mimpi aku jadi guru.
  2. Mahar: Tenang saja kau, Boi! Puisi yang dibuat orang yang jatuh cinta pasti dahsyat! Jangan malu!
  3. Bapak Harfan: Hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya.
  4. Ikal: Mana Bu Muslimah? Mana kawan-kawan? Sekolah apa ini namanya? Tidak ada guru tidak ada murid.
  5. Syahdan (atau Trapani, saya tak yakin): Sukamiskin namanya! Penjaranya miskin seperti sekolah kita, tapi kita tetap suka!
  6. Samson: Yang di pinggir itu otaknya encer macam susu! Belum ketemu saja napasnya! Kalau sudah, sudah habis dilahapnya semua soal itu!
  7. Ikal: Orang yang selalu berusaha datang lebih pagi sekarang harus jadi yang pergi lebih dulu.
  8. Laskar Pelangi: LASKAR PELANGI HARUS SEKOLAH!!!

Laskar Pelangi sungguh memberi inspirasi. Sekali lagi saya jatuh cinta, pada hal yang sama, pada orang yang sama. Saya jatuh cinta pada Andrea Hirata.
Juga kepada Riri Riza dan Mira Lesmana, mereka telah membuat keajaiban Andrea Hirata diangkat ke layar lebar dan mengguncang lebih banyak orang. Setidaknya mereka yang tidak suka membaca bisa merasakan napas sebuah impian melalui film ini.

Mungkin kebanyakan sudah menonton film ini, mungkin sedikit terlambat bagi saya untuk mengatakan ini, tapi sungguh, LASKAR PELANGI is a MUST! Must read and must watch!

Hidup mimpi!

Dan bila ditanya, siapakah yang paling saya suka di antara kesepuluh anggota Laskar Pelangi di film ini? Jawabannya adalah Mahar! Mahar dalam film ini begitu dekat dengan Mahar di dalam kepala saya. So natural!^^

U're the best I've ever had
~FeN~
Read Comments

Friday, May 01, 2009

Sebuah jurang untuk sebuah akhir

Tepat sekali. Hari ini mama mengirimkan SMS kepada saya, mengabarkan bahwa adik saya malam ini akan menghadiri acara perpisahan anak-anak kelas 3. Dia yang notabene sebagai pengurus OSIS wajib hadir dalam acara ini sebagai panitia. Iya, menerima tamulah, mengurusi door prizelah, melakukan inilah, itulah, dan hal-hal tidak penting lainnya.

Saya tahu karena saya pun merasakan hal yang sama dulu. Di saat posisi saya masih sebagai junior, saya hadir sebagai panitia, menerima tamu dan semacamnya. Dan di saat saya sudah senior, saya datang sebagai tamu, duduk dan menikmati acara dari awal hingga akhir.

Tiga tahun berturut-turut saya menghadiri acara perpisahan, yang bahasa kerennya adalah prom night, dan jujur, tidak sedikit pun saya terkesan.

Mengapa?
Bukankah prom night adalah acara yang ditunggu-tunggu semua siswa?
Mungkin, tapi tidak bagi saya.

Mengapa?
Bukankah prom nightlah acara puncak dari tiga tahun masa SMA?
Mungkin, tapi tidak bagi saya.

Tiga tahun berturut-turut, saya menghadiri acara perpisahan ini, dan apa yang saya dapatkan?Ketiganya diadakan di hotel berbintang. Ketiganya diadakan malam hari. Ketiganya dihadiri oleh siswa-siswi yang seperti disulap menjadi bintang film Hollywood. So unnatural.
Sementara, seingat saya, acara yang berlangsung itu sebenarnya bisa dihadiri tanpa gaun, jas, dan make up berlebihan, hanya kata sambutan sana-sini, performance ini-itu, santap malam, dan acara salam-salaman antara guru dan murid.

Intinya, murid-murid hanya akan duduk manis di kursi yang sudah disediakan dan menonton. Iya, menonton.

Saya sangat tidak setuju dengan tradisi perpisahan di hotel berbintang, malam-malam, dan mengenakan setelan yang 'wah'. Sekali lagi saya ulangi, saya sangat tidak setuju. Ya, mungkin banyak yang tidak sepaham dengan saya, mengingat acara-acara semacam ini sangat jarang terjadi di masa-masa SMA dan bisa menghadiri acara seperti ini merupakan euforia tersendiri bagi siswa-siswi yang masih termasuk golongan remaja.

Alasan ketidaksetujuan saya tak lain dan tak bukan adalah masalah kesenjangan sosial. Lihatlah, bagaimana prom night menjadi ajang 'show off', menunjukkan apa saja yang mampu seseorang beli dan kenakan. Gaun yang melambai-lambai dan bersinar-sinar itu seolah-olah berteriak sepanjang acara, "Hey, World, see, I am rich and I am pretty. I can afford this expensive dress. How 'bout you, Loser? Ha, ha, ha."

Tak ada yang lebih menonjolkan kesenjangan sosial dalam kehidupan SMA selain prom night. Aturan sekolah yang tidak memperbolehkan murid-murid membawa kendaraan ke sekolah, ditambah lagi terbatasnya tempat parkir yang tersedia, membuat kesenjangan itu tidak terlalu nampak. Baju seragam putih abu-abu itu membuat semuanya sama rata, dan saya sangat suka. Namun, dengan adanya prom night, jurang itu semakin lebar saja.

Mereka yang punya dompet akan sibuk berburu special outfit yang akan mereka kenakan bahkan sebelum Ujian Nasional diselenggarakan. Bahkan ada yang sengaja memesan baju sampai ke ujung dunia, menghabiskan jutaan rupiah demi satu malam yang sama sekali bukan dia ratunya. Jutaan rupiah akan ditambah ratusan ribu lainnya untuk membeli sepatu dan aksesoris. Belum lagi acara pra-perpisahan, yaitu ke salon untuk dandan dan catok rambut. Omigod, it's sure a waste. 

Lalu, bagaimana dengan mereka yang gaji orang tuanya hanya pas-pasan untuk menyekolahkan anak-anaknya dan makan sehari-hari? Tentu saja hal ini akan menjadi sebuah dilema besar. Jika tak tampil layaknya orang kebanyakan, akan saltum alias salah kostum. Jika memaksakan diri tampil seperti artis ibu kota, dari mana uangnya? Lalu, apa yang harus dilakukan? Dilema. Sungguh sebuah dilema.

See, bagaimana sebuah acara perpisahan membuat jarak di antara siswa semakin membentang sungguh sebuah hal yang miris. Perpisahan seharusnya menjadi sebuah ajang untuk mendekatkan diri, saling memaafkan, dan menyimpan semua kenangan indah, bukannya untuk pamer dan menarik perhatian orang-orang yang selevel atau lawan jenis.

Malam perpisahan.
Cowok kaya memakai jas yang khusus dipesan dari ujung langit, membawa mobil yang dicuci bersih dan direndam tiga hari tiga malam, sementara cowok tak berduit memakai kemeja seadanya, bingung bagaimana mau pulang karena sudah kelewat malam.

Malam perpisahan.
Cewek kaya memakai gaun serupa baju pernikahan, dengan make up setebal debu meja belajar yang ditinggal tiga bulan, sementara cewek tak berduit memakai gaun sederhana bekas kakak, tidak menginjak salon sebagai persiapan pra-perpisahan.

Bertolak belakang, kan?

Saya bukan termasuk keduanya, bukan golongan kaya, bukan pula golongan tak punya. Namun saya termasuk ke dalam golongan yang bingung mau memakai baju, sepatu, dan aksesoris apa. Sebenarnya saya ingin menggunakan kaos dan jeans saja sebagai bentuk penolakan saya terhadap kesenjangan sosial yang sengaja diciptakan oleh pihak sekolah, tapi keberanian saya belum sebesar itu. Akhirnya saya tetap mengenakan apa yang tak ingin saya pakai.

I wish I had more bravery to fight against it back then.

Sebuah revolusi terjadi tahun ini. Acara perpisahan diadakan di sekolah, dengan dresscode bebas pantas. Sungguh merupakan sebuah angin segar, tapi saya dengar-dengar banyak anak-anak SMA yang tidak terlalu suka dengan gagasan ini. Biarlah, yang penting perubahannya positif. 

U're the best I've ever had
~FeN~
Read Comments