Saturday, May 02, 2009

Laskar Pelangi, sebuah awal untuk jutaan mimpi...


Entah sudah berapa lama hasrat ini terpendam, dan pagi ini, akhirnya satu lagi wishlist saya berubah menjadi warna merah dan dicetak tebal. Iya, satu lagi keinginan saya terpenuhi. Pagi ini saya nonton LASKAR PELANGI!!!

Sungguh telat, iya. Sudah basi, mungkin. Tapi biarlah, yang penting saya sudah nonton dan saya puas. Terimakasih yang sebanyak-banyaknya buat 'Apel' yang sudah mengunduh film ini dan memberikannya kepada saya. Sungguh berterimakasih diri ini.^^.

Saya membaca novelnya ketika film-nya sudah tayang di bioskop-bioskop Indonesia. Terlambat. Saya menonton film-nya ketika film ini mulai melaksanakan road show keliling Australia. Lagi-lagi terlambat.

Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, kan?

Andrea Hirata sungguh membuat saya jatuh cinta setengah mati. Bagaimana pandangan saya terhadap novel Tetralogi Laskar Pelangi dapat dilihat di sini, dan di lembar ini, saya akan membahas tentang film yang diangkat dari buku pertamanya.

Tak ada aktor ganteng dan aktris cantik yang bisa dilihat di film ini. Saya ingat sekali, bagaimana antusiasme saya mengatakan kepada salah satu sepupu saya bahwa saya ingin menonton film Laskar Pelangi hanya dijawab dengan kalimat ini, "Ngapain nonton anak-anak dusun?"

Yeah, dan pada saat itu, saya hanya bisa terdiam sempurna, tak mampu berkata-kata. Apa, sih, yang sebenarnya kita cari dari sebuah film? Aktor dan aktris? Ataukah jalan cerita?
Jika tujuannya hanyalah melihat yang ganteng-ganteng dan cantik-cantik, pandangi saja poster-poster hadiah dari majalah. Jika yang diperhatikan adalah kualitas cerita, janganlah ragu untuk menonton film ini.

Memang benar, film adaptasi sebuah novel tidak akan bisa menyaingi novel itu sendiri. Bagaimana pun hebatnya si sutradara dan crew lainnya, mereka tak akan mampu menang melawan imajinasi pembaca yang liar. Bayangkan saja, satu orang akan punya satu gambaran, dan setiap orang akan memiliki gambaran yang berbeda. Ada jutaan pasang mata yang membaca novel bestseller itu. Lalu, bagaimanakah caranya satu film dapat mematahkan doktrin berbeda-beda yang tertanam di dalam otak sekian banyak manusia?

Saya sendiri menangkap begitu banyak perbedaan antara film yang baru saja saya tonton dan novel yang sudah saya baca sekitar setengah tahun yang lalu. 
  • Di film ini, Lintang yang berumur 6 tahun sendirian menggenjot sepeda di hari pertama sekolahnya sementara di dalam buku, Lintang yang bau hangus diantar oleh ayahnya yang seorang nelayan.
  • Film ini menceritakan kehidupan masa SD Laskar Pelangi, sementara Andrea Hirata menceritakan perjalanan Laskar Pelangi dari SD hingga SMP.
  • Seharusnya, jika mengikuti alur dalam buku, Ikal jatuh cinta pada A Ling di masa SMP-nya, sementara Ikal yang baru kelas 6 SD tergila-gila pada A Ling di film ini. Dan hal ini sebenarnya sangat mengganggu bagi saya. Mengapa? Karena tubuh Ikal yang masih sangat kecil dijejerkan dengan A Ling yang sudah mulai remaja. Bisa membayangkan bagaimana perbedaan tubuh cowok dan cewek kelas 6 SD, kan?
  • Film ini tidak menceritakan bagaimana Ikal, Mahar, dan teman-teman menjelajahi hutan untuk mencari Flo yang hilang. Tahu-tahu, Flo sudah kembali dan berkeras untuk masuk SD Muhammadiyah Gantong. Seharusnya Flo bergabung dengan Muhammadiyah pada masa SMP, tapi di film ini, Flo yang masih SD sudah bergabung dengan Laskar Pelangi.
  • Di film ini, Mahar dan Flo yang masih SD diceritakan sudah tertarik kepada ilmu-ilmu mistis dan menjelajah hutan demi hutan. Hal ini sangat tidak masuk akal bagi saya. Anak SD tergila-gila pada kekuatan supranatural? OMG.
  • Dalam Karnaval 17 Agustus, SD Muhammadiyah menampilkan tarian, tapi tarian yang ditampilkan di dalam novel dan divisualisasikan di film berbeda. Di dalam novel, tarian itu adalah tarian suku pedalaman Afrika yang menceritakan pertarungan manusia dan binatang buas, sementara tarian yang saya saksikan di film ini tak seliar yang seharusnya. Menurut saya, scene ini adalah bagian terburuk dari film ini. Saya mengharapkan lebih.
  • Seingat saya, novel Laskar Pelangi sama sekali tidak menceritakan Ibu Mus yang ditaksir oleh guru sekolah PN, tapi di film ini, Tora Sudhiro mengejar-ngejar Ibu Mus yang acuh tak acuh. Saya tak menganggap improvisasi ini sebagai sebuah masalah, toh, orang-orang lebih suka bila ada sedikit cinta-cintaan di dalam sebuah film.
  • Bapak Harfan diceritakan meninggal di film ini. Namun saya benar-benar tidak ingat, apakah beliau juga meninggal di dalam novel?
  • Lintang ditampilkan bertemu buaya dan Bodenga tepat pada hari lomba Cerdas Cermat antar-SD, sementara di dalam novel, kedua scene ini adalah hal yang terpisah satu sama lain.
  • Di dalam film, Lintang putus sekolah di saat SD, padahal seharusnya putusnya harapan Lintang untuk bersekolah adalah ketika SMP.
Di samping perbedaan-perbedaan yang sudah saya tuliskan di atas, Laskar Pelangi adalah sebuah film yang sangat patut ditonton. Tiga kali saya meneteskan air mata sepanjang film ini. 
Pertama kali adalah ketika Bapak Zulkarnaen mengunjungi Ibu Mus yang kehilangan semangat lantaran kepulangan Bapak Harfan. Beliau memberikan semangat kepada Ibu Mus untuk kembali mengajar anak-anak luar biasa itu. 
Ketika semangat Ibu Mus sudah terpompa, ia kembali ke sekolah dan mendapati Laskar Pelangi belajar dengan semangatnya di dalam kelas, dipimpin oleh Lintang. Di sini, hati saya kembali bergetar, dan sebutir lagi air mata jatuh ke pipi saya. 
Lalu, tentu saja, putusnya harapan Lintang untuk bersekolah membuat saya menangis lagi. Ia yang paling pandai yang paling cerdas, yang paling teguh hati, harus putus sekolah begitu saja dan menjadi tulang punggung keluarga. Sungguh menyedihkan.

Banyak kalimat-kalimat indah yang terlontar dari dialog-dialog antara tokoh-tokoh di dalam film ini. Beberapa kalimat favorit saya sepanjang film ini:
  1. Ibu Muslimah: Mimpi aku ini bukan jadi istri saudagar, Pak. Mimpi aku jadi guru.
  2. Mahar: Tenang saja kau, Boi! Puisi yang dibuat orang yang jatuh cinta pasti dahsyat! Jangan malu!
  3. Bapak Harfan: Hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya.
  4. Ikal: Mana Bu Muslimah? Mana kawan-kawan? Sekolah apa ini namanya? Tidak ada guru tidak ada murid.
  5. Syahdan (atau Trapani, saya tak yakin): Sukamiskin namanya! Penjaranya miskin seperti sekolah kita, tapi kita tetap suka!
  6. Samson: Yang di pinggir itu otaknya encer macam susu! Belum ketemu saja napasnya! Kalau sudah, sudah habis dilahapnya semua soal itu!
  7. Ikal: Orang yang selalu berusaha datang lebih pagi sekarang harus jadi yang pergi lebih dulu.
  8. Laskar Pelangi: LASKAR PELANGI HARUS SEKOLAH!!!

Laskar Pelangi sungguh memberi inspirasi. Sekali lagi saya jatuh cinta, pada hal yang sama, pada orang yang sama. Saya jatuh cinta pada Andrea Hirata.
Juga kepada Riri Riza dan Mira Lesmana, mereka telah membuat keajaiban Andrea Hirata diangkat ke layar lebar dan mengguncang lebih banyak orang. Setidaknya mereka yang tidak suka membaca bisa merasakan napas sebuah impian melalui film ini.

Mungkin kebanyakan sudah menonton film ini, mungkin sedikit terlambat bagi saya untuk mengatakan ini, tapi sungguh, LASKAR PELANGI is a MUST! Must read and must watch!

Hidup mimpi!

Dan bila ditanya, siapakah yang paling saya suka di antara kesepuluh anggota Laskar Pelangi di film ini? Jawabannya adalah Mahar! Mahar dalam film ini begitu dekat dengan Mahar di dalam kepala saya. So natural!^^

U're the best I've ever had
~FeN~

4 thoughts:

~'FeN'~ said...

ternyata bukan cuma ak yang nangis pas nonton laskar pelangi.
Terharu nian ak pas nonton bagian laskar pelangi beljar dewe di kelas waktu bu mus brenti ngajar.
ak nonton itu pas di bioskop. cknyo katek yg tau ak nangis pas nonton. haha..

~refreshing selagi gawe tugas~lalalala

~'FeN'~ said...

iyo lennn
di bagian ituuuu
bener2 terharuuuu
>.<

aku ntn di komp b nangis
apo lagi di bioskop

~'FeN'~ said...

Feb feb, bener, filmnya bagus =D. Haha

~'FeN'~ said...

sangattt
^^