Dari ambang pintu kecil yang membatasi ruang terang benderang dan sebuah kamar mungil gelap gulita, kulihat ia terbaring dalam rengkuhan kain tipis bercorak batik. Bahkan dalam balutan selimut, aku tahu bahwa tubuhnya kini semakin meringkih. Ia sedang tertidur, tidur begitu dalam, begitu pulas. Hari itu, hanya kulihat punggungnya dan aku pergi.
Lagi, aku kembali. Kali ini kulihat ia duduk di kursi rotan favoritnya. Ia duduk di sana, di ambang pintu perbatasan terang dan gelap. Pandangannya kosong. HIngar bingar ocehan orang-orang di bawah siraman cahaya lampu neon maupun sendu sedih suara hatinya dalam pekatnya kegelapan tak digubrisnya. Ia hanya duduk di sana, dalam kekosongan.
Dan kali ini, ia tidak tidur memunggungiku. Ia duduk menghadapku. Raganya bertemu ragaku face to face, tapi jiwaku sibuk mencari jiwanya yang terselip entah di mana. Tubuhnya benar-benar kurus, tulang dibalut kulit, tanpa daging. Dapat kulihat cetakan tulang-tulang rusuknya di balik bajunya yang kini kelonggaran. Aku berusaha membetulkan bajunya yang melorot di bahu dan aku menyentuh punggungnya yang kurasa begitu fragile, begitu rapuh.
Untuk sesaat kukira aku akan menangis. Aku ingin menyentuh punggung tangannya, menggenggam jemarinya, mengelus bahunya. Namun, aku takut. Aku takut sentuhanku akan menghancurkannya, meremukkan tulang-tulangnya, membuatnya jadi debu yang berserakan di lantai pualam.
Kuajak dia berbicara, tapi ia tak lagi ingat aku. Kutanya ia ini dan itu, tapi jawabannya selalu tak nyambung. Suaranya lirih, seperti hanya bergumam pada diri sendiri. Organ-organ tubuhnya masih bekerja, hanya saja separuh nyawanya seperti telah hilang.
Ingin sekali aku berteriak, menjerit-jerit, menggantikannya meratapi nasib yang mencincang-cincang habis kebahagiaannya. Tak mampu lagi ia melakukan apa-apa. Kini semua aktivitasnya hanya berputar-putar di antara sebuah ranjang yang hampir aus, sebuah kursi rotan di ambang gelap dan terang, dan sebuah kamar mandi berlantai merah marun. Tak bisa lagi ia naik turun tangga sampai lantai empat. Tak mampu lagi ia duduk-duduk menikmati telenovela yang bahkan ia sendiri tak jelas alur ceritanya. Tak kuat lagi ia menyuruhku makan, mandi, dan pergi les tiga puluh menit lebih awal.
Aku, di sini, hanya ingin menangis untuknya.~FeN~
0 thoughts:
Post a Comment