Monday, August 20, 2012

Cita-Cita

Cita-cita. Jika bicara tentang cita-cita, saya punya banyak sekali cita-cita. Sejak masih duduk di bangku sekolah dasar, saya punya cita-cita dan sampai hari ini, jumlah cita-cita saya jadi semakin banyak, tapi tak ada satu pun yang jadi nyata. Cita-cita saya hanya seperti domba yang anak-anak imajikan menjelang tidur mereka: maya dan terlupakan.

Sejak kecil, saya suka menulis. Apalagi ketika guru-guru memilih saya untuk berpartisipasi dalam Lomba Bahasa Indonesia dan melatih teknik menulis saya, saya menemukan kecintaan saya yang besar dalam bidang ini. Dan saya punya cita-cita untuk jadi penulis.

Masih saat sekolah dasar, saya ingin jadi seorang arsitek. Entah apa gerangan yang saya pikirkan dulu, tapi cita-cita ini bertahan cukup lama. Hingga masa-masa jelang kuliah, saya masih menjadikan arsitektur sebagai salah satu pilihan utama untuk jurusan saya. Saya senang mengimajinasikan rumah yang indah, saya senang corat-coret bentuk rumah, saya senang membayangkan detail-detail rumah saya di masa yang akan datang.

Cita-cita penulis saya kembali merekah ketika saya berseragam putih-biru. Walaupun saya masuk ke kelas akselerasi dengan saingan-saingan yang tergolong berat, saya menulis banyak sekali puisi dan cerita pendek. Saya juga dilibatkan oleh guru saya dalam menulis artikel di majalah sekolah. Dan hobi menulis ini berlanjut hingga saya masuk SMA. Saya punya satu folder yang isinya adalah puisi-puisi dan cerpen-cerpen saya. Folder ini sering sekali digilir oleh teman-teman untuk dibaca. Saya juga pernah menulis sebuah novel (dengan tangan) di sebuah buku. Novel ini digilir juga, lalu hilang tak tentu rimbanya. Di lain waktu, saya mengikutsertakan satu novel saya dalam sebuah lomba dan tentu saja, tidak menang. :P

Juga saat saya masih SMA, dalam rangka mengusung cita-cita saya untuk menjadi penulis, saya ingin menjadi jurnalis. Saya sempat bersikeras untuk mengambil jurusan sastra bahasa untuk kuliah saya. Namun, orang tua saya menentang. Mereka tidak mengizinkan saya untuk menjadi reporter dikarenakan alasan keamanan dan jam kerja yang tak tentu. Saya mengalah.

Lalu, entah ini desire atau bukan, saya melanjutkan studi saya di bidang teknik. Teknik sipil. Ya, teknik sipil adalah pendukung arsitektur. Mungkin awalnya ini hanya sebuah pelarian. Namun, seperti kata orang-orang, tak kenal maka tak sayang. Lambat laun, seiring dengan hari-hari yang saya jalani, saya mulai jatuh ke dalam pelukan si teknik sipil. Dan saya kini punya hasrat yang kuat untuk mendalami dan menyusuri bidang ini dengan melanjutkan kuliah saya. Di akhir cerita, saya punya cita-cita untuk menjadi seorang Engineer yang expert dan bisa berkontribusi untuk pembangunan dunia.

Sayangnya, sisi lain dari diri saya berkata lain. Berdasarkan hobi saya dalam memberi ide, mengorganisir, dan menyusun acara-acara dan berdasarkan pengalaman saya selama sekolah dan kuliah, saya bercita-cita untuk melepaskan karier Engineering saya dan banting setir menjadi seorang Event Organizer. Saya memikirkan opsi ini dengan cukup serius karena saya yakin nantinya saya akan butuh jam kerja yang fleksibel untuk mengurus keluarga saya di masa yang akan datang.

Seperti apa yang saya katakan di awal, cita-cita saya tak ubahnya domba yang anak-anak imajikan menjelang tidur, tak ada satu pun yang jadi nyata. Saya merasa gagal.

Saya bisa bermimpi jadi apa pun, tapi untuk mengeksekusi mimpi saya, saya belum punya keberanian yang cukup. Saya masih seorang pecundang.

U're the best I've ever had
~FeN~

0 thoughts: