Setengah purnama telah aku lewati bersamanya dan ia tetap tak mengenalku. Terkadang ia bilang aku si A, terkadang ia bilang aku keponakan si B, terkadang ia tak mau menggubrisku. Jika aku membawakannya sesuatu untuk ia makan, terkadang ia bilang terimakasih dengan suara paraunya, terkadang ia tak bilang apa-apa, terkadang ia memintah lebih.
Ingatanku membawaku pada memori lebih dari setahun yang lalu, saat ia masih mampu berkomunikasi dengan cukup baik di sela-sela kepikunannya. Saat itu aku datang padanya, mengunjungi dirinya yang sedang terbaring di atas ranjang aus di kamar gelapnya, dan kami mulai bertukar cerita. Dan dengan berurai air mata, ia bilang padaku, seandainya saja ia bisa terbang ke Singapura untuk mengurusi aku dan kakak sepupuku. Hatiku mencelos, dia merasa terkurung di sana, ia ingin bebas, tapi ia tak tahu apa yang harus ia lakukan untuk keluar dari sangkarnya yang bukan sangkar emas.
Waktu berlari terlalu cepat, meninggalkannya yang berjalan tertatih-tatih hingga pada suatu titik ia memutuskan untuk berjalan balik. Ia kembali menjadi bayi, terperangkap dalam dunia yang dirajutnya sendiri, terbelit di dalam benang-benang rajutan yang semakin lama semakin kusut.
Hari ini ia terus-terusan menepuk-nepuk punggung tangan mamaku, seperti hendak menyampaikan sesuatu yang tak tersampaikan. Suaranya tercekat, hanya tangannya yang tak bertenaga yang memanggil-manggil.
Mungkinkah ada sesuatu yang mengganjalnya?
~FeN~
0 thoughts:
Post a Comment