Tuesday, December 08, 2009

Taman



Tanpa pernah kusadari, sejak bertahun-tahun yang lalu, hidupku penuh dengan dirimu. Jemariku yang setiap malam menari-nari lincah di atas tombol-tombol keyboard komputerku selalu asyik bercerita tentang dirimu: bagaimana ekspresimu setiap kali melihatku keluar dari rumah dengan outfit yang berbeda-beda, bagaimana pandanganmu setiap kali aku mulai membuka mulut untuk mengeluarkan ocehan-ocehan berkepanjangan tanpa akhir, bagaimana tanggapanmu akan kisah cintaku yang fluktuatif, seperti ombak yang sesekali menggulung dan sesekali menerjang hebat, bagaimana ini, dan bagaimana itu. Semua serba dirimu, walaupun di hatiku hinggap beragam-ragam kupu-kupu, mulai dari yang berwarna gelap,bersayap lebar dan gagah, bercorak polkadot atau garis-garis, hingga yang tak punya sayap.
Persahabatan kita begitu indah, tanpa syarat. Hanya padamulah aku bisa jadi diriku sendiri, bercerita apa pun yang aku mau, bertingkah sekonyol-konyolnya aku. Hanya padamulah aku tak takut menunjukkan sepenuhnya diriku, terang dan gelapnya aku. Aku begitu yakin, begitu berani untuk menyimpulkan, bahwa tak akan ada cinta di antara kita.
There are a lot of possibilities, but one thing for sure, I will never fall for you and you will never fall for me,” begitu ujarku padamu. Aku dan dirimu, tak perlu berebut saling menjatuhkan serbuk-serbuk cinta karena serbuk-serbuk itu hanya imaji semata. Kita berdua punya tiga dunia: kau dan berkeranjang-keranjang bunga-bungamu, aku dan beragam-ragam kupu-kupuku, dan kita dengan taman tanpa satu pun bunga dan kupu-kupu.
Aku ingat, waktu itu kita masih SMA, saat kau tiba-tiba datang ke rumahku, berhujan-hujan, begitu pasrah akan siraman kerinduan langit pada bumi yang mengguyur habis kemeja kotak-kotakmu, sambil menangis. Itu pertama dan terakhir kalinya kulihat kau berderai air mata, terisak-isak, tanpa sepatah kata pun. Tak ada untaian-untaian kata-kata manis keluar dari mulutku untuk menenangkanmu, menanyakan apa yang terjadi, atau sekadar sok tahu menceramahimu. Aku tahu aku hanya perlu ada di sana, menemani napasmu naik turun tak teratur sampai kau puas, lalu mengizinkanmu pergi untuk main lagi dengan duniamu.
Aku juga ingat, tiga bulan yang lalu, di kampus, saat aku mengetuk-ngetuk kaca mobilmu dengan cara yang begitu barbar, memaksa salah satu bungamu untuk keluar sambil cemberut dari romantisme kalian, duduk di sebelahmu, dan mulai mengoceh panjang pendek tentang apa yang baru saja kualami. Aku dicium paksa. Aku marah, aku kesal, aku menangis. Dan dirimu, apa yang kau lakukan? Tanpa kata, tanpa sedikit pun kata, kau keluar dari mobilmu, membanting pintu dengan kesal, menghambur ke bajingan itu, menghantamnya dengan tinjumu, lalu tersenyum puas menghadapku yang tergopoh-gopoh mengejarmu lalu bengong melihat apa yang kau lakukan untuk membelaku. Aku lega punya dirimu dan kau bahagia bisa melindungiku, walaupun terlambat. Tak perlu sedikit pun kata di antara kita.
Begitulah persahabatan kita berdua, tanpa satu pun bunga atau kupu-kupu, begitu indah, hanya kita berdua di dalamnya, sesuka kita.
Bunyi klakson Toyota Innova-mu membuyarkan lamunanku. Untuk terakhir kalinya mematut diri di depan cermin setinggi dua meter, aku membenarkan letak pita yang menghiasi bajuku hari ini. Aku berlari keluar, mendapati dirimu tengah mengetuk-ngetukkan jari-jarimu di atas kemudi, pertanda kau sudah mulai tak sabar menunggu. Aku segera berlari dan secepat-cepatnya memposisikan diri di sebelahmu.
Melihat aku masuk, ekspresimu berubah. Entah apa artinya ekspresi hari ini. Apakah aku terlihat jelek? Apakah aku terlihat gendut? Apakah baju ini tak cocok untukku? Apakah rambutku terlalu berantakan? Apakah aku berdandan terlalu berlebihan untuk undangan dinner ini?
“Kenapa? Jelek, ya?” tanyaku perlahan.
Kau menggeleng dan tersenyum, “Nggak. Cantik, kok,” katamu pelan.
Aku tahu yang kau katakan adalah kejujuran. Kata ‘kepalsuan’ tak pernah ada dalam kamus persahabatan kita. Jika aku kelihatan jelek, pasti kau akan bilang jelek sekali dan jika aku terlihat cantik, kau pasti akan secara tulus memujiku. Aku ingat, sejak dulu, kaulah orang pertama yang selalu melihat dan menilaiku sebelum pergi nge-date bersama kupu-kupuku, entah yang bercorak polkadot atau pun yang tak bersayap. Jika aku terlihat jelek, gendut, atau lebai, kau akan menggeleng-geleng dan kembali menekuni tabloid yang kau baca. Sebaliknya, anggukan-anggukan kepalamu selalu membuat kepercayaan diriku membuncah. Kejujuran itu selalu tersampaikan, walaupun tanpa sedikit pun kata-kata.
Aku tersenyum, lega, “So, ngapain kamu ngajak aku dinner? Any special occasion?”
Lagi-lagi kau tersenyum, tapi kali ini tanpa kata. Innova silver-mu meluncur dengan mulus di atas aspal yang mengkilap disinari mentari senja yang sedikit terdistorsi di ufuk barat sana. Tanpa kata, hanya ada senyummu dan kebingunganku sepanjang perjalanan menuju restoran mewah yang tak pernah kudatangi sekali pun.
Kau membukakan pintu untukku dan seumur-umur, baru kali inilah kau memperlakukanku seperti ini. Aku hanya diam, membiarkanmu mengiringku memasuki restoran itu. Meja dan kursi mewah tertata rapi mengelilingi sebuah panggung mewah dengan lampu-lampu Kristal di atasnya. Aku mengamati pemain saxophone yang sedang mengalunkan nada-nada indah dari sebuah lagu yang tak kukenal.
Matamu menjelajah, seperti mencari seseorang. “Sebelah sana,” bisikmu sambil menggandengku menjauh dari pintu masuk.
Kita berjalan menuju sebuah meja bulat bertaplak putih dengan empat kursi di sekelilingnya. Seorang wanita duduk memunggungi kita: rambutnya panjang dengan gelung-gelung anggun, gaun yang dipakainya berwarna hijau toska, kulitnya putih seputih susu. Kau menyentuh punggungnya dan ia menoleh lalu senyumnya mekar, begitu cantik.
“Ini Diandra, pacarku,” ucapmu pelan.
Bibirku tersenyum, tanganku terbuka menyalami gadis cantik itu, tapi ada sembilu menyayat-nyayat ulu hatiku hingga berdarah-darah. Tak ada sejarahnya kau campur adukkan hidupmu dengan dunia kita, tapi kini kau tambahkan bungamu ke dalam taman kosong kita. Maumu apa?
Walaupun tanpa kata, aku tahu, taman kita tak lagi sama. Hatiku yang berdarah-darah juga tak lagi sama.
Aku tak ingin ada bunga di taman kita. Aku mau taman kosong saja, hanya kau dan aku, sesuka kita berdua.

U're the best I've ever had
~FeN~

0 thoughts: