Tepat sekali. Hari ini mama mengirimkan SMS kepada saya, mengabarkan bahwa adik saya malam ini akan menghadiri acara perpisahan anak-anak kelas 3. Dia yang notabene sebagai pengurus OSIS wajib hadir dalam acara ini sebagai panitia. Iya, menerima tamulah, mengurusi door prizelah, melakukan inilah, itulah, dan hal-hal tidak penting lainnya.
Saya tahu karena saya pun merasakan hal yang sama dulu. Di saat posisi saya masih sebagai junior, saya hadir sebagai panitia, menerima tamu dan semacamnya. Dan di saat saya sudah senior, saya datang sebagai tamu, duduk dan menikmati acara dari awal hingga akhir.
Tiga tahun berturut-turut saya menghadiri acara perpisahan, yang bahasa kerennya adalah prom night, dan jujur, tidak sedikit pun saya terkesan.
Mengapa?
Bukankah prom night adalah acara yang ditunggu-tunggu semua siswa?
Mungkin, tapi tidak bagi saya.
Mengapa?
Bukankah prom nightlah acara puncak dari tiga tahun masa SMA?
Mungkin, tapi tidak bagi saya.
Tiga tahun berturut-turut, saya menghadiri acara perpisahan ini, dan apa yang saya dapatkan?Ketiganya diadakan di hotel berbintang. Ketiganya diadakan malam hari. Ketiganya dihadiri oleh siswa-siswi yang seperti disulap menjadi bintang film Hollywood. So unnatural.
Sementara, seingat saya, acara yang berlangsung itu sebenarnya bisa dihadiri tanpa gaun, jas, dan make up berlebihan, hanya kata sambutan sana-sini, performance ini-itu, santap malam, dan acara salam-salaman antara guru dan murid.
Intinya, murid-murid hanya akan duduk manis di kursi yang sudah disediakan dan menonton. Iya, menonton.
Saya sangat tidak setuju dengan tradisi perpisahan di hotel berbintang, malam-malam, dan mengenakan setelan yang 'wah'. Sekali lagi saya ulangi, saya sangat tidak setuju. Ya, mungkin banyak yang tidak sepaham dengan saya, mengingat acara-acara semacam ini sangat jarang terjadi di masa-masa SMA dan bisa menghadiri acara seperti ini merupakan euforia tersendiri bagi siswa-siswi yang masih termasuk golongan remaja.
Alasan ketidaksetujuan saya tak lain dan tak bukan adalah masalah kesenjangan sosial. Lihatlah, bagaimana prom night menjadi ajang 'show off', menunjukkan apa saja yang mampu seseorang beli dan kenakan. Gaun yang melambai-lambai dan bersinar-sinar itu seolah-olah berteriak sepanjang acara, "Hey, World, see, I am rich and I am pretty. I can afford this expensive dress. How 'bout you, Loser? Ha, ha, ha."
Tak ada yang lebih menonjolkan kesenjangan sosial dalam kehidupan SMA selain prom night. Aturan sekolah yang tidak memperbolehkan murid-murid membawa kendaraan ke sekolah, ditambah lagi terbatasnya tempat parkir yang tersedia, membuat kesenjangan itu tidak terlalu nampak. Baju seragam putih abu-abu itu membuat semuanya sama rata, dan saya sangat suka. Namun, dengan adanya prom night, jurang itu semakin lebar saja.
Mereka yang punya dompet akan sibuk berburu special outfit yang akan mereka kenakan bahkan sebelum Ujian Nasional diselenggarakan. Bahkan ada yang sengaja memesan baju sampai ke ujung dunia, menghabiskan jutaan rupiah demi satu malam yang sama sekali bukan dia ratunya. Jutaan rupiah akan ditambah ratusan ribu lainnya untuk membeli sepatu dan aksesoris. Belum lagi acara pra-perpisahan, yaitu ke salon untuk dandan dan catok rambut. Omigod, it's sure a waste.
Lalu, bagaimana dengan mereka yang gaji orang tuanya hanya pas-pasan untuk menyekolahkan anak-anaknya dan makan sehari-hari? Tentu saja hal ini akan menjadi sebuah dilema besar. Jika tak tampil layaknya orang kebanyakan, akan saltum alias salah kostum. Jika memaksakan diri tampil seperti artis ibu kota, dari mana uangnya? Lalu, apa yang harus dilakukan? Dilema. Sungguh sebuah dilema.
See, bagaimana sebuah acara perpisahan membuat jarak di antara siswa semakin membentang sungguh sebuah hal yang miris. Perpisahan seharusnya menjadi sebuah ajang untuk mendekatkan diri, saling memaafkan, dan menyimpan semua kenangan indah, bukannya untuk pamer dan menarik perhatian orang-orang yang selevel atau lawan jenis.
Malam perpisahan.
Cowok kaya memakai jas yang khusus dipesan dari ujung langit, membawa mobil yang dicuci bersih dan direndam tiga hari tiga malam, sementara cowok tak berduit memakai kemeja seadanya, bingung bagaimana mau pulang karena sudah kelewat malam.
Malam perpisahan.
Cewek kaya memakai gaun serupa baju pernikahan, dengan make up setebal debu meja belajar yang ditinggal tiga bulan, sementara cewek tak berduit memakai gaun sederhana bekas kakak, tidak menginjak salon sebagai persiapan pra-perpisahan.
Bertolak belakang, kan?
Saya bukan termasuk keduanya, bukan golongan kaya, bukan pula golongan tak punya. Namun saya termasuk ke dalam golongan yang bingung mau memakai baju, sepatu, dan aksesoris apa. Sebenarnya saya ingin menggunakan kaos dan jeans saja sebagai bentuk penolakan saya terhadap kesenjangan sosial yang sengaja diciptakan oleh pihak sekolah, tapi keberanian saya belum sebesar itu. Akhirnya saya tetap mengenakan apa yang tak ingin saya pakai.
I wish I had more bravery to fight against it back then.
Sebuah revolusi terjadi tahun ini. Acara perpisahan diadakan di sekolah, dengan dresscode bebas pantas. Sungguh merupakan sebuah angin segar, tapi saya dengar-dengar banyak anak-anak SMA yang tidak terlalu suka dengan gagasan ini. Biarlah, yang penting perubahannya positif.
~FeN~
6 thoughts:
Hooo, in the end diubah toh prom nitenya. Setuju2, I think that prom nite is about friendship, and the simple one is better for that purpose.
Gibran
~Isi hidup loe dengan hal-hal yang berarti~
Iya, akhirnya diadain di sekolah...
Seengganya ngga terlalu bikin orang pusing ngeluarin uang seabrek-abrek buat beberapa jam doank...
Sapa tau tahun depan diadain di sekolah n harus pake seragam...
Lebih asik...
Haha...
Gua suka dress codenya prom nitenya PINTU: smart casual! Hahaha
wih, gak tau knp tadi juga kepikiran ttg hal ini..
nurutku, justru kesenjangan sosial itu gak perlu ditutupi, contohnya sejak SD semua anak pake baju yg seragam. mreka seharusnya dari kecil disadarkan kalo nggak semua orang itu sama (esp secara kondisi ekonomi). Dgn begitu mereka bisa belajar utk 'sadar' akan kondisi keuangan ortu dan gak bakal neko2 utk mengikuti teman2nya, gk kyk anak2 jaman skrg.
ttg promnite, justru karena murid2 gak terbiasa diBEDAkan, mreka mau selalu sama (at least gak lebih jelek) dibanding teman2nya dan akibatnya ya semua pada ikut2an mahal deh...
utk yg emang kaya, nurut aku sih wajar2 aja mreka mau tampil WAH, toh cuma 3 tahun sekali, duit nya juga dari bonyok sndiri kg nyolong, dan aku yakin gak semuanya sengaja begitu cuma utk nyombong, dasaran aja yg lain gak berani tampil SEDERHANA sendiri, takut malu walaupun akhirnya mempermalukan diri sendiri..
just my opinion
yeap
thanks 4 e share!
^^
saya setuju dengan Anda....
Post a Comment