Take Me Out Indonesia, sebuah ajang pencarian jodoh yang ditayangkan di Indosiar setiap Jumat malam pada pukul 21.30 WIB, mulanya tidak menarik perhatian saya. Saya hanya mendengar sedikit-sedikit tentang acara ini dari adik dan sepupu saya yang heboh sendiri hingga saya tanpa sengaja menonton siaran ulangnya hari sabtu yang lalu. Dan kemarin, saya kembali menonton reality show yang dipandu Choky Sitohang ini. Saya akui, acara ini menarik perhatian saya.
Take Me Out Indonesia, berbasis reality show, memiliki misi untuk menyatukan pria dan wanita single yang ingin membina hubungan. Iya, biro jodoh, begitulah kira-kira. Namun, menariknya, sistim percomblangan ini dibuat sedemikian rupa sehingga kedua belah pihak boleh memilih, bukan mak comblang yang membuat pilihan untuk mereka.
Kurang lebih tiga puluh wanita akan berdiri di tiga puluh podium yang telah disiapkan, menunggu seorang pria lajang keluar dari backstage. Dalam satu episode, sekitar tujuh sampai delapan pria akan dihadirkan di hadapan wanita-wanita cantik usia dua puluh ke atas yang sudah siap berkomitmen. Wanita-wanita ini bebas memilih untuk membuka atau menutup rapat-rapat pintu hati mereka untuk si pria. Jika merasa tidak sreg, mereka tinggal menekan tombol di podium mereka untuk mematikan lampu dan mengusir si pria jauh-jauh. Sampai pada tahap terakhir, di mana paling-paling hanya segelintir wanita yang masih ingin mengenal si pria lebih lanjut, giliran si Adam yang memilih. Dia akan mengajukan pertanyaan kepada wanita-wanita yang tersisa untuk memilih satu menjadi pasangannya. Lalu, si wanita akan ditarik keluar daari podiumnya dengan status ‘unavailable’.
Namun, tak semua pria akan mendapatkan pasangannya di acara ini. Setengah dari pria-pria yang hadir akan pulang tanpa gandengan. Semua wanita yang ada dengan brutalnya akan mematikan lampu podium mereka dan tak membiarkan si pria menunjukkan kepada mereka siapa dirinya. Sakit hati, pasti, tapi apa boleh buat, dia harus pulang.
Saya pribadi tertarik dengan acara ini, tapi saya sama sekali tak sepaham dengan konsep hubungan karbitan seperti ini. Tak sampai sepuluh menit saling bertemu muka, merasa tertarik karena hal-hal yang lebih bersifat keduniawian, saling berpegangan tangan, kemudian memulai sebuah hubungan. Oh lala.
Si wanita memilih si pria didasarkan first impression, perkenalan singkat dari si pria, sedikit testimonial dari orang lain, ataupun secuil performance yang ditampilkannya. Tak sedikit alasan klise mengusik gendang telinga saya: “Soalnya dia cute.”, “Saya suka cowok botak.”, “Gaya berpakaiannya ok.”, “Ganteng, sih.”, “Saya suka yang begini.”, atau “Yang begini lebih asyik.”. Tak dapat dipungkiri, first impression itu sangat mempengaruhi interaksi antarmanusia selanjutnya, tapi untuk sebuah hubungan yang berbasis jangka panjang, impresi fisik saja, bagi saya, sama sekali tidak cukup. Saya akui, ketampanan mampu membangun first impression yang baik. Saya yakin hampir semua orang suka dengan keindahan, tapi untuk membangun hubungan yang lebih intens, banyak hal yang harus dipikirkan daripada kekayaan fisik semata.
Sementara itu, si pria memilih satu dari beberapa wanita yang tersisa berdasarkan fisik (tentu saja) dan jawaban yang diterimanya dari pertanyaan-pertanyaan yang dia ajukan. Biasanya si pria lebih memilih yang jawabannya terdengar bijaksana dan baik hati, walaupun tetap ada yang memilih berdasarkan kecantikan semata, buta begitu saja. Namun, saya berpikir, bisa saja wanita-wanita itu mengarang-ngarang apa yang dikatakannya supaya mendapatkan kesan yang baik dari pria yang ditaksirnya dan segera memperoleh pasangan.
Lalu, pertanyaan saya, apakah hubungan yang diawali dari acara-acara semacam ini akan mampu bertahan lama? Perkenalan yang begitu singkat untuk komitmen yang sama sekali tidak singkat. Saya kurang yakin hubungan pasangan-pasangan yang terbina akan bertahan lama. Seperti memilih kucing dalam karung, begitu pikir saya, sungguh risky.
Saya sendiri lebih percaya kepada sesuatu yang bertahap. Ibaratnya ingin pergi ke lantai dua, kita harus melangkah setapak demi setapak meniti anak tangga untuk tiba di sana, tak bisa instan, menghilang di lantai satu dan muncul di lantai dua dalam waktu sepersekian detik. Mustahil. Nah, begitu juga dengan sebuah hubungan, harus dititi setapak demi setapak untuk sampai ke tujuan akhir. Mulai dari strangers, acquaintances, friends, hingga lovers. Butuh waktu, butuh proses, butuh tahap penilaian.
Bagaimana menurut anda?
~FeN~
0 thoughts:
Post a Comment