Monday, July 13, 2009

Pasar



Dari timur matahari merangkak naik, meninggalkan malam yang masih mendengkur berirama. Beriring-iringan dengan sang surya, sekelompok manusia dengan keranjang-keranjang dan bakul-bakul mereka pun meninggalkan ranjang, bantal, dan selimut yang menjaga mereka sepanjang malam. Pasar adalah tujuan mereka, tempat yang mampu memastikan dandang nasi mereka mengeluarkan uap putih untuk mengisi perut sekian banyak jiwa di bawah atap mereka yang bisa saja terbuat dari genting mahal, kayu, beton, rumbia, bambu, seng, atau terpal saja.


Pasar adalah tempat penjual dan pembeli saling bertemu dan berinteraksi untuk menjalankan sebuah interaksi yang berbasis simbiosis mutualisme. Pedagang memperoleh laba dari apa yang mereka jajakan, sementara pembeli memperoleh kebutuhan hidup dari lembaran-lembaran biru, merah, dan hijau yang mereka belanjakan.

Berjuta cerita bisa didapatkan dari puluhan atau bahkan ratusan kios-kios di bawah naungan sebuah pasar. Saya yakin, pasti di dalam sana ada jutaan tawa, canda, tangis, dan amarah yang menghiasi hari-hari manusia yang berseliweran keluar dan masuk. Saya yakin, pasti ada jutaan kisah lainnya di depan dan di belakang semua ini. Jutaan demi jutaan kisah ini tak akan dapat disimak oleh satu pasang mata saja, apalagi oleh mata yang belum kenal dunia, seperti mata saya.

Pagi ini adalah satu dari sekian banyak pagi saya yang diisi dengan menemani ibu saya pergi ke pasar. Bagi saya, pasar adalah sebuah tempat yang menyimpan banyak sekali keunikan. Dulu sekali, saya tak pernah mau menemani mama saya pergi ke pasar, tempat yang begitu becek, jelek, gelap, dan suram. Namun sekarang, pandangan saya terhadap tempat suram yang disebut pasar itu sudah berbeda. Pasar adalah sebuah tempat yang begitu menarik.

#1 Tawar menawar

Pembeli ingin harga serendah-rendahnya, pedagang ingin untung sebanyak-banyaknya. Prinsip inilah yang dipegang dengan sangat kuat oleh kedua belah pihak yang berinteraksi di pasar. Akhirnya, yang terjadi adalah perang mulut: yang satu ingin menurunkan harga hingga batas minimal, yang lainnya merasa tertekan dan mati-matian menjaga harga tetap pada level yang ditetapkannya. Pemenangnya bisa siapa saja yang, tentu saja, lebih membutuhkan.

#2 Gosip dan pamer

Pasar bisa menjadi ajang perjumpaan ibu-ibu yang entah saling mengenal dari mana saja: ada yang ternyata teman masa kanak-kanak, ada yang saling kenal dari suami-suami masing-masing, ada juga yang saling tahu karena anak-anak mereka. Setelah mereka saling menyapa, kelanjutannya bisa ditebak: si A gini lho, si B ternyata gitu deh, anakku kenal sama si C, si D sekarang sombong banget, si E begini, si F begitu, si G, si H, si I, sampai si Z. Selain itu, sesi saling menyapa di pasar juga bisa menjadi ajang pamer bagi para ibu-ibu. Ada yang memamerkan anaknya yang kuliah di ujung dunia, ada yang memamerkan nilai anaknya, ada yang memamerkan pembantunya dengan dibawa ke pasar untuk menjadi tukang angkut, ada juga yang memamerkan hartanya dengan perhiasan kinclong dan baju wah yang dipakai untuk memilih-milih ikan yang bau amis.

#3 Siang

Semakin jauh posisi matahari dari rumahnya di timur sana, pasar menjadi semakin sepi. Terkadang dagangan yang dijajakan pun masih berlimpah ketika para pembeli sudah tak lagi menjejakkan kaki memasuki tempat ini. Lalu, saya berpikir, mau diapakan dagangan-dagangan itu? Apalagi bila barang yang mereka jual adalah sesuatu yang mudah busuk seperti ikan, daging, sayur, dan buah-buahan. Mungkinkah semua dagangan itu akan disimpan di dalam freezer lalu dijual lagi keesokan harinya? Apakah pedagang akan berpura-pura semua dagangan mereka masih segar padahal sudah ada peran serta pendingin? Apakah pembeli akan tertipu? Saya tak tahu.

#4 Pembunuhan

Pasar adalah juga sebuah tempat pembunuhan. Jutaan jiwa telah terbunuh di sana, saya yakin. Dan pagi ini, ketika saya, dengan mata kepala saya sendiri, melihat seorang pedagang kodok memenggal kepala dagangannya, membiarkan dagangannya itu menggelepar putus asa di atas timbangan sambil menegosiasikan harga dengan ibu saya, lalu menguliti satu demi satu kodok-kodok sawah itu, mencabut urat-uratnya, dan memotong tangan dan kakinya, saya menyadari bahwa selama ini saya jadi bagian dari pembunuhan-pembunuhan terencana itu. Saya kasihan pada nasib kodok-kodok itu, saya mual melihat cara mereka mati, dan saya memutuskan tidak mau lagi makan kodok. Mungkin suatu saat nanti, ketika saya melihat ayam atau sapi dibunuh, saya juga akan memutuskan untuk tidak memakan mereka. Lalu, hei, I will be a vegetarian!!!

#5 Higienitas

Becek dan bau, itulah kesan pertama saya setiap kali memasuki pasar. Air hasil pencucian daging, ikan, ayam, dan dagangan-dagangan lain bercampur dengan sisa-sisa hujan yang entah sudah ada di sana sejak kapan, ditambah bau amis dari darah-darah hewan yang berceceran di mana-mana, belum lagi tangan si pedagang yang bergantian memegang dagangan dan uang yang penuh kuman, membuat pasar menjadi semakin tidak higienis di mata saya. Lalu di antara pedagang-pedagang daging, ikan, dan sayur yang masih harus diolah lagi oleh pembeli, terselip pedagang makanan-makanan yang bisa langsung dimakan, seperti pempek, kue-kue, dan lauk pauk. Saya rasa, kuman-kuman pun akan ikut terselip. Higienis kah?

#6 Masih muda

Setiap kali saya ke sana, saya melihat dirinya. Dia masih sangat muda. Orangnya cantik dan terlihat sangat lincah. Kulitnya putih dan rambutnya selalu dikuncir ekor kuda. Namun, dia ada di sana bukan berstatus pembeli seperti saya, padahal usianya sama seperti saya, sama-sama belum menginjak kepala dua. Ia adalah pedagang, pedagang ikan. Baju yang dipakainya setiap kali saya ke sana selalu terpercik darah ikan yang disianginya untuk para pembeli. Diam-diam saya membandingkan diri saya sendiri dengannya. Di usia yang sama, nasib kami sungguh berbeda. Ia sudah keluar sama sekali dari dunia remaja, tulangnya sudah dibanting untuk menghidupkan kompor di rumahnya, sementara saya masih bergantung sepenuhnya pada orang tua saya. Saya pun berpikir, apakah dia tidak rindu untuk bersekolah dan mengejar mimpinya?

Hanya enam dari jutaan kisah yang terukir di sepanjang dinding pasar. Mata saya tak mampu melihat semuanya, apalagi mengelaborasikan semuanya. Pasar, dengan segala positif dan negatifnya, telah menghidupi jiwa dan raga kita seiring berputarnya bumi. Tak ada pasar, ke mana harus mencari makanan?

U're the best I've ever had
~FeN~

0 thoughts: