Waktu menunjukkan pukul sepuluh lebih tiga puluh satu menit jam Singapore. Di sini, mata saya sedang mengawasi jari-jari saya menari-nari lincah di atas keyboard sementara otak saya berputar cepat memikirkan apa saja yang harus diketikkan oleh jemari saya.
Tiga hari berselang sejak awal minggu ini. Iya, hari ini rabu, tapi saya sudah merasa begitu luluh lantak dan ingin libur seharian. Jadwal yang padat ditambah kegiatan ini itu yang sangat menguras tenaga membuat saya benar-benar kelelahan dan merasa tidak tahan. Minggu ini benar-benar merupakan cobaan yang berat buat saya.
Dan hari ini, saya mencoba membuka lecture notes dan tutorial sheets yang sama sekali tak tersentuh sepanjang minggu ini. Namun hati ini tak ada di sana, entah dia sedang berlayar ke mana mencari kebahagiaannya sendiri. Akhirnya tubuh yang ditinggalkan ini berubah warna menjadi biru lalu perlahan jadi kehitaman. Saya kesal pada diri saya sendiri yang seolah tak punya semangat belajar, padahal saya sama sekali tak mengerti apa yang diajarkan. Sungguh, saya merasa malam ini saya bukanlah saya yang biasanya dan saya sama sekali tak suka. Akhirnya darah ini jadi mendidih dan membuat saya begitu sebal pada hidup ini. *kebiasaan lama yang tak bisa ditinggalkan huff*
Akhirnya, otak saya malah berkelana ke mana-mana dan saya teringat papa, papa saya yang tiada duanya.
Mengapa saya berkata demikian?
Pertama, papa tidak pernah sekali pun menyuruh saya belajar. Yang papa lakukan adalah kebalikan dari apa yang biasa dilakukan papa-papa lainnya. Ya benar, beliau sudah sangat sering menyuruh saya berhenti belajar. Haha, lucu, ya? Saya ingat sekali, setiap kali papa melihat saya mengurung diri pagi-pagi buta untuk belajar sebelum ulangan, beliau akan masuk dan menyuruh saya tidak usah belajar lagi. Percaya bahwa kamu pasti bisa, begitu katanya setiap kali.
Kedua, papa tidak pernah mempermasalahkan nilai yang saya dapatkan, mau merah kek, kuning kek, ijo kek, atau transparan sekali pun, papa tak pernah memarahi saya. Yang beliau lakukan hanyalah bertanya, "Sebenarnya kamu ngerti ngga tentang bahan ini?". Lalu ketika saya bilang sebenarnya saya mengerti tapi karena satu dan lain hal jadi tidak bisa mendapatkan hasil yang baik, beliau akan tersenyum dan bilang, "Ngga apa-apa. Yang penting kamu ngerti. Nilai itu cuma di atas kertas.".
Ketiga, papa tidak pernah memarahi saya jika ranking saya melompat indah dari tempat di mana ia seharusnya berada. Yang matanya cari adalah perbandingan antara nilai saya dan rata-rata kelas. Tak perduli saya mau ranking berapa, yang penting nilai saya jauh di atas rata-rata kelas. Malah saya yang biasanya bermuram durja karena masalah ini dan beliau akan marah bila saya jadi begini. "Jangan terlalu perfeksionis," begitu pesannya.
Dan, yah, sepertinya saya butuh papa sekarang.
Cinta dirimu, Pa.
Akhirnya aku menulis tentangmu juga.
U're the best I've ever had
~FeN~
~FeN~
0 thoughts:
Post a Comment