Friday, March 19, 2010

Dia

Everyday, I walk pass him. Everyday, I see him. And everyday, I feel pity about him.

Setiap hari dia duduk di sana. Sendiri, dalam kekosongannya, ia duduk dengan dagangannya. Tak pernah kulihat ia menawarkan apa yang dijajakannya. Ia hanya duduk dan menatap kosong ke depan dengan barang-barang yang seharusnya ia jajakan. Tak pernah kulihat ada orang yang menggubris sosoknya di sana, apalagi membeli apa yang ada di hadapannya. Ia bagaikan sosok tak kasat mata. Tak ada yang peduli, mereka hanya berjalan cepat-cepat melewati dirinya yang duduk sendiri dalam dunianya.

Ia sudah tua, mungkin sudah berada di tengah-tengah kepala tujuhnya, sedang bersiap menambah sebuah kepala lagi, atau bahkan lebih. Ia di sana, dengan kursi plastik dan gerobaknya yang berisi kartu-kartu telepon dagangannya. Ia di sana, selalu diam tanpa kata. Ia di sana, selalu di sana, setiap kali aku lewat. Terkadang ia mengambil posisi agak menjorok ke dalam agar terlindung dari matahari yang menyengat, terkadang ia duduk menghadap ke arah jembatan agar ia lebih mudah terlihat, terkadang ia duduk di depan sebuah tiang besar agar bisa bersandar. Ia selalu di sana, hanya bergeser beberapa inci saja.

Tak pernah kulihat dia absen dari tempat itu, baik pagi saat aku berjalan cepat-cepat ke kantor karena kesiangan, ataupun sore saat aku berjalan pelan-pelan menikmati semilir angin. Aku tak tahu sejak kapan dan sampai kapan ia di sana. Aku tak tahu jam berapa ia menyeret gerobak dan kursi plastiknya dari rumahnya. Ngomong-ngomong, di mana rumahnya, jauhkah? Aku pun tak tahu. Aku tak tahu siapa namanya, berapa umur pastinya, apakah ia punya anak, berapa cucu yang ia punya, atau bahkan mengapa ia berdagang kartu telepon di sana. Yang kutahu, ia selalu ada di sana, dalam diamnya.

Hatiku nyeri setiap kali berjalan melewatinya dan melihat mata sayunya yang kosong. Ia sudah begitu tua dan ia masih harus menghabiskan hidupnya dengan berjualan. Dengan duduk di sana dari matahari terbit hingga tenggelam, apakah ia cukup memenuhi kebutuhannya? Aku bertanya-tanya, berapakah uang yang ia dapatkan setiap hari? Aku bertanya-tanya, apakah dia punya teman yang bisa dijadikan tempat berkeluh-kesah ketika ia jenuh dengan hari-harinya? Aku bertanya-tanya, apakah ia masih punya istri yang akan menyambutnya dengan segelas kopi panas di rumah? Aku bertanya-tanya, bosankah ia dengan kehidupannya? Aku bertanya-tanya, sejak kapankah ia mulai berjualan? Aku bertanya-tanya, hanya dalam hatiku saja.

Dan aku kembali teringat pada ia yang terbaring diam di rumahku. Dan aku berkata, bersyukurlah penjual kartu telepon tadi, karena ia masih sanggup berjalan dengan gerobak dan kursi plastiknya, menikmati matahari pagi hingga senja untuk mengisi hari-harinya. Sementara ia yang sedang terbaring di rumahku, sudah tak bisa apa-apa. Ia hanya punya raga, tak lagi punya jiwa.

Waktu terus berjalan dan berjalan, dan aku yakin, tanpa ada lampu merah ataupun penanda jalan, masing-masing dari kita akan mencapai masa itu: masa di mana pagi dan malam tak lagi berbeda, masa di mana nasi dan roti rasanya sama, masa di mana masa kecil kembali terulang, dan jujur, aku sangat takut. Menjadi tua bukanlah sebuah pilihan. Mau tak mau, aku akan memasuki zona itu. Mau tak mau, aku akan menjadi satu dari sekian banyak orang-orang yang tak lagi punya tujuan hidup. Mau tak mau, aku akan merentangkan tanganku lebar-lebar untuk menyambut kematian. Mau tak mau.

And some time later, he will disappear, without anyone realizes.

U're the best I've ever had
~FeN~

0 thoughts: