Wednesday, April 22, 2009

Dhani: Bolehkah aku memutar waktu?

Dan aku hanya mampu duduk di sini, dalam kesendirian dan kesunyian malam, di bawah bintang-bintang yang tak bosan berkelip walau tak tergubris, menunggu hatiku memberi jawaban yang pasti. Teringat olehku percakapan kita bulan lalu.

“Dhan,” tiba-tiba kau datang ke kontrakanku dan kau langsung masuk karena tahu aku tak pernah mengunci pintu, “Kita harus bicara.”

“Ada apa, Sayang?” balasku lembut, mengimbangi ketergesaan dalam suaramu, tanpa mengalihkan pandangan dari komputerku. Aku sedang bekerja dan aku tak suka meninggalkan pekerjaanku setengah jalan. Ya, aku bekerja di rumah. Aku adalah editor sebuah majalah tidak ternama. Gajiku kecil dan karena itulah sampai sekarang aku belum berani melamarmu yang sudah kupacari selama 5 tahun. Aku tak mau mengubahmu dari seorang putri menjadi Upik Abu. Aku tak mau, sungguh.

“Kita harus bicara, sekarang juga. Cepet, tinggalin komputer itu,” desakmu sambil menarik kursi hidrolik yang sedang kududuki agar menghadap ke arahmu. Aku pun menyerah, meninggalkan artikel yang sedang kuedit dan memandangmu, matamu, hidungmu, kesempurnaan paras cantikmu.

Kau mendesah, begitu anggun, aku menikmati keanggunan itu, “Dhan, lamar aku, segera,” tiba-tiba kau berkata.

Belum sempat aku memuaskan diri memandang wajah indahmu, kau telah membuat aku terhenyak. Aku diam, tak mampu berkata-kata. Kau juga diam, menunggu jawabanku. Tak ada kata di antara kita. Hanya suara jam dinding pemberianmu yang terus berdetak tik-tak-tik-tak mengisi ruang yang seolah kosong ini.

Detik-detik berlalu, terasa berjam-jam, bahkan bertahun-tahun, dan aku memberanikan diri berkata, “Trina, dengar, belum saatnya kita menikah. Menikah bukan sekadar membalikkan telapak tangan, Sayang. Aku sudah janji, kan, kalau aku pasti akan melamar kamu. Please, tunggu aku.”

“Kamu ngga ngerti, Dhan! Aku sudah 25 tahun dan tak pernah sekalipun kamu menampakkan diri di rumahku. Keluargaku pikir aku tak punya pacar dan mereka sudah memilihkan aku calon suami. Kamu mau aku menikah dengan orang lain? Sampai kapan aku harus menunggu?” serumu cepat, membuatku semakin kehilangan kata-kata.

Trina, aku tak tahu harus berkata apa. Lidahku kelu. Aku pun tak tahu ekspresi apa yang nampak dari wajahku sekarang, apakah tegang, sedih, atau malah tanpa ekspresi sama sekali? Kamu tahu, aku sungguh tak tahu harus kujawab apa semua seruanmu. Aku memang bodoh. Tak pernah sekalipun aku datang ke rumahmu, mengucapkan salam kepada keluargamu, atau sekadar mengantarmu sampai di beranda rumahmu. Keberanianku hanya sebatas pagar rumahmu yang tinggi menjulang. Aku memang pengecut, Sayang. Aku tak berani menghadapi risiko ditolak oleh ayah dan ibumu. Aku hanya perantau dari kota kecil yang tak punya apa-apa.

“Dhan,” panggilmu, membuyarkan lamunanku, “Kamu dengerin aku nggak, sih?”

“Iya, iya, aku denger,” jawabku pelan, “Aku hanya nggak tau harus berkata apa. Aku …”

Kata-kataku terputus setelah kau cepat-cepat menerka kelanjutannya, “Belum siap menikah. Iya, kan? Bosan aku, Dhan, kata-katamu nggak ada variasi. Bahkan di saat aku sudah mau dijodohkan dengan orang lain pun, kamu masih bilang tidak siap. Jangan-jangan kamu memang tidak cinta padaku?”

“Trina,” aku pun menggenggam jemarimu yang halus, “Tak ada yang bisa mengalahkan cintaku padamu, kau tahu. Karena cinta itulah, aku tak mau melihatmu menderita. Aku tak mau kau susah bersamaku. Beri aku waktu sampai aku mapan, dan aku akan membawamu bersamaku.”

Aku tak dapat menerka ekspresi apa yang sedang kau tunjukkan padaku, mungkin setengah sedih, setengah geli. “Dhan, aku bekerja, kamu bekerja, dan kita bisa merintis semuanya berdua. Kita mulai bersama, dari nol. Aku mau menikah denganmu bukan karena uang, tapi karena cinta. Kalau aku hanya ingin kemewahan, aku sudah meninggalkanmu dari dulu!”

“Tapi, Sayang,” bantahku, “Aku …”

Stop. Sekarang bilang padaku, kamu mau ikut ke rumahku sekarang dan bilang pada papa kalau kamu adalah pacarku atau tidak?” ujarmu memotong omonganku yang belum sempat dimulai.

“Trina, kumohon …”

“Oke,” dan kau seketika melepaskan jemarimu, berdiri dan memunggungiku, “Aku sudah tau jawabannya. Selamat tinggal."


(bersambung)


U're the best I've ever had

~FeN~

7 thoughts:

~'FeN'~ said...

Wah ada novel baru karya Febrina. Ditunggu lanjutannya...
:-)

~'FeN'~ said...

minta comment nya donkkkkk...

bukan novel...

cerpen aja...

ga sanggup bikin novel...
haha...

~'FeN'~ said...

hmm. bersambung.. sayang sekali. padahal pingin langsung baco sampe tamat.
sudut pandang ny ak aga bingung fen baconyo.
ni dari sisi cow kan? kan biaso tu selalu dari si cew. haha. jadi harus mikir dl ak, siapo yang ngo. haha.
tapi sperti biasa. ak suka style tulisan kaw fen. ^^
bikin novel jg boleh fen. ak bersedia jadi first reader. gagaga..
jadi editor jg bolehla. tapi itu gweanny cmn y? hoho..

~'FeN'~ said...

wow, trims len...
belum mampu bikin novel...
blom punya skill sampe sano...

ini b masih malu na publish...
hohoho...

iyo len, sudut pandang cowok...
daktau tepat dak nih penggambarannyo...
hihi...^^

~'FeN'~ said...

ya bagus la...
tapi gantung bu..
liat sambunganny dulu biar biso analisa secara menyeluruh..
Analisa parsial nantinya akan menghilangkan esensi dari keseluruhan cerita..
wakakaka...

~'FeN'~ said...

wow!!! valen la daftar jadi editor e...
mmm...
padahal nk daftar jg..
wakakak...
proof reader samo editor beda dk???

~'FeN'~ said...

olala...
cak aku na bikin nopel b kamu ni...
haha...

dah metu na lanjutannyo, tamat...
haha...
dak tau jelek po bagus...