Friday, April 17, 2009

Puisi juga Budaya

Jutaan manusia berkoar-koar, "Lestarikan budaya bangsa! Selamatkan tari tradisional! Kembalikan lagu-lagu daerah yaang sedang tenggelam menuju ke permukaan! Hidupkan lagi wayang! Alat musik tradisional! Batik! Lestarikan budaya bangsa!"

Ya, ya, ya, dan di sini lah saya, merasa sangat miris dengan kampanye-kampanye 'budaya' yang rasanya makin marak saja, tapi entah membuahkan hasil atau tidak.

Lalu, hal apa yang membuat saya merasa miris? Ketidakpedulian anak bangsa terhadap budaya kah? Atau semakin banyaknya budaya yang dicuri oleh tetangga? Atau arus budaya barat yang mengalir sangat deras sehingga menenggelamkan budaya nasional?

Bukan ketiganya.
Saya hanya sedih. Wayang, Lenong, Rasa Sayange, Tari Bali, Tari Saman, Batik, dan segala kekayaan budaya Indonesia selalu diucapkan dari mulut ke mulut, tetapi jarang sekali ada yang bilang, "Mari kita lestarikan Bahasa Indonesia!"

Ya, sangat jarang. Dan saya bertanya-tanya, mengapa? Apakah Bahasa Indonesia yang kita kenal sekarang belum cukup terdistorsi untuk masuk ke dalam kategori 'harus dilestarikan'? Apakah Bahasa dan Sastra Indonesia bukanlah suatu bentuk jati diri bangsa yang harus tetap dipertahankan?

Sungguh menyedihkan, di tengah-tengah semangat bangsa untuk menyelamatkan budaya nusantara, ibu dari segala budaya bangsa malah dibiarkan terkulai lemah dan tak berdaya. Merujuk kepada apa yang sudah saya bahas di sini, biasnya Bahasa Indonesia dalam pergaulan sehari-hari sudah sangat terasa dan kini saya ingin mengangkat sedikit tentang karya sastra Indonesia yang kelihatannya semakin terlupakan.

Sastra Indonesia telah berkembang dari zaman ke zaman, dalam bentuk lisan mau pun tulisan. Banyak hal yang berubah, mulai dari struktur bahasa dan diksi yang semakin simpel dan elegan, sampai aturan-aturan penulisan yang semakin fleksibel. 

Bahasa dan Sastra Indonesia selalu menyesuaikan diri dengan 'pangsa pasar' tanpa meninggalkan nilai estetika yang dianutnya. Namun kini, saya merasa sudah terlalu besar energi yang dikerahkan untuk menguji elastisitas bahasa ibu saya ini sehingga ia tertarik ke segala arah dan kehilangan fleksibilitasnya. Mungkin suatu saat nanti, Bahasa Indonesia akan tampak seperti ikat rambut saya yang 'melar' karena tak henti-hentinya ditarik.

Saya rasa tak perlu kita membahas hikayat, gurindam, stanza, atau soneta karena mereka kini telah duduk nyaman dalam singgasananya di dalam sejarah kesusastraan Indonesia. Bagaimana pandangan mereka terhadap karya sastra masa kini yang perlu kita perhatikan sekarang. 

Tak usah jauh-jauh mencari karya sastra sampai ke ujung Borneo, karena toko buku menyediakan banyak sekali karya sastra Indonesia dalam bentuk novel. Namun sayangnya, terlalu banyak novel saat ini yang kurang mendidik, dengan gaya bahasa yang terlalu 'slang' untuk sebuah karya sastra. Novel-novel ini seolah diterbitkan hanya untuk meraup keuntungan, bukan mengedepankan budaya dan edukasi seperti yang selama ini kita harapkan. Apakah tak akan ada suksesor-suksesor bagi Mira W? Apakah tak akan ada lagi karya-karya besar seperti kepunyaan Marga T?

Film-film Indonesia juga semakin kehilangan kualitasnya. Saya sebal melihat judul-judul film yang tak ada nilai estetikanya, bukan Bahasa Indonesia yang baku! Ditambah lagi, plot dan penokohan yang jauh dari memuaskan, konflik yang itu-itu saja, dan penjiplakan dari kanan, kiri, depan, dan belakang. Tidakkah semua itu merusak keindahan Sastra Indonesia?

Dan satu lagi yang membuat saya semakin sedih adalah keberadaan puisi sebagai sebuah karya sastra bangsa. Sekarang ini, siapa, sih, yang mau memasang telinga untuk mendengar orang membaca puisi? Bahkan, ketika ada seseorang yang berusaha menghayati puisi yang dibacakanny, memasang ekspresi yang sempurna dan intonasi yang 'wah', justru orang-orang akan berkata, "Ih, lebai.".

Sebagai seorang pencinta puisi, saya sedih. Sedih sekali. Sangat jarang ada orang yang menghargai puisi sebagaimana mestinya. Festival-festival yang diadakan di mancanegara untuk mempromosikan budaya Indonesia pun tidak melibatkan pembacaan puisi sebagai bagian dari performance-nya.

Mungkin memang benar, penonton lebih suka melihat group band terkenal menyanyikan lagu-lagu hits yang teranyar daripada seorang tak dikenal membacakan puisi. Namun, bisakah sedikit saja kita beri kesempatan kepada puisi untuk unjuk gigi? Bukankah lirik-lirik lagu yang didendangkan Peterpan, Nidji, dan Ungu adalah untaian-untaian kata dalam puisi? Lalu, kenapa tak ada usaha yang dikerahkan untuk meresapi kata kata indah itu?

Dan saya ingat sesi obrolan saya bersama seorang teman sesama pengagum puisi. Kami tumbuh di sekolah dasar yang sama, dan di dalam hati kami ditanamkan kecintaan yang sama terhadap puisi. Namun hingga kini, benih itu hanya mampu tumbuh menjadi bonsai yang tak dapat meninggi lagi. Cinta itu tak berkembang sempurna. Kami kekurangan wadah untuk berekspresi. Kami rindu debar-debar hati ketika akan membacakan judul dan pengarang puisi, kami rindu ketegangan ketika ekspresi demi ekspresi mulai merasuki diri kami, kami rindu belalak mata penonton ketika teriakan kami tiba-tiba membahana. Kami rindu saat-saat itu. Rindu sekali.

Ingin rasanya kembali lagi membaca Senja di Pelabuhan Kecil, Doa, Aku, Antara Kerawang Bekasi, Diponegoro, dan Gadis Kecil Berkaleng Kecil. Ingin rasanya kembali menyusuri tepian mimpi Chairil Anwar.

Dan kini, saya punya misi, membawa puisi ke dalam ICN 2010.
Hidup puisi!

DOA 

kepada pemeluk teguh 

Tuhanku 
Dalam termangu 
Aku masih menyebut namamu 

Biar susah sungguh 
mengingat Kau penuh seluruh 

cayaMu panas suci 
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi 

Tuhanku 

aku hilang bentuk 
remuk 

Tuhanku 

aku mengembara di negeri asing 

Tuhanku 
di pintuMu aku mengetuk 
aku tidak bisa berpaling 

13 November 1943

U're the best I've ever had
~FeN~

6 thoughts:

~'FeN'~ said...

wow..Semoga misi mu berhasil. hahaha..
Keren ui puisi, mantep nya..
^^

~'FeN'~ said...

mantep samo nya dak pake spasi, win...
hahaha...

~'FeN'~ said...

hmm.. puisinya Chairil Anwar ya?
inget dulu pernah baca :)

~'FeN'~ said...

wohooow,Doa!!!
Ya ampun nostalgia lagi aku gara2 kau fen!!
Hahahaha....
Post kau bikin hatiku ikut sedih.
Napo puisi dianaktirikan.

~'FeN'~ said...

@ Je_Z: Tepat sekali. Anak tiri. Dari dulu aku sedih... Hahaha...

@ Bowo: Yup, Chairil Anwar... Saya penggemar berat puisi-puisinya...

~'FeN'~ said...

bah, iyo bu mantapnya. hahaha. kebiasoan ketik spasi jadi ck itulah. Bah jesi tu bergejolak lagi cknyo darah2 nak baco dgn buat puisi. haaha