Tuesday, April 21, 2009

Ia yang Perkasa

Another important day has come. Yeah, a day for women in Indonesia.

Selamat Hari Kartini!!!

Raden Ajeng Kartini lahir di Jepara, 21 April 130 tahun yang lalu. Tak perlu saya ceritakan kisah hidup beliau karena saya yakin semua yang mampu mengerti bahasa yang saya gunakan di lembar ini tahu siapakah wanita hebat ini.

Beliau bukan sembarang wanita, beliau adalah wanita perkasa. Bukan perkasa dalam artian mampu mengangkat berpuluh kilo besi dan baja, melainkan mampu meneruskan keperkasaannya kepada wanita-wanita berpuluh-puluh generasi di bawahnya.

Berkat seorang wanita Jawa yang berani mengambil sikap atas diskriminasi gender di masyarakatnya beratus-ratus tahun yang lalu, wanita-wanita Indonesia mampu menunjukkan sinarnya sekarang. 

Bayangkan, jika tidak ada seorang Kartini, apa yang terjadi pada wanita-wanita Indonesia sekarang? Tak akan ada guru perempuan. Mengapa? Wong perempuan saja dianggap bodoh dan tak diizinkan duduk di bangku sekolah, bagaimana bisa ada guru perempuan? Tak akan ada politisi perempuan, dokter perempuan, dan tentu saja, tak akan ada menteri pemberdayaan perempuan. Jika Raden Ajeng Kartini tak pernah ada, saya rasa, justru yang makin banyak jumlahnya adalah wanita-wanita prostitusi.

Saya sendiri membayangkan apa jadinya saya sekarang bila perjuangan Ibu Kartini tak pernah berbuah. Saya yakin, tak mungkin saya sekolah di sini sekarang. Saya malah mungkin telah menikah dan punya 2 anak, setiap hari tak punya kerjaan lain di samping membersihkan rumah dari pelafon sampai kamar mandi, belanja ke pasar dengan uang yang dijatah suami, dan mengangguk-angguk diam saat dimarahi suami. Dan saya tak akan punya lemari penuh baju-baju, tas, dan sepatu karena saya hanya akan pakai daster dan sandal jepit. 
Oh, tidak. 

Terima kasih banyak, Ibu Kartini.
Most Indonesian women are prevented from wearing daster *izzit?* 24 hours a day because of you.^^. 

Sungguh, sebagai wanita, saya sangat berterimakasih kepada R. A. Kartini yang berani mengubah pandangan konvensional masyarakat di masanya. Dia benar-benar berbeda dan benar benar berani. Bagi seorang wanita yang lemah dan tak berdaya di masa-masa strata dalam masyarakat masih dijunjung tinggi, mencoba membawa perubahan adalah suatu hal yang bisa dibilang  nekad. Namun, tekad sekeras baja itulah yang sebenarnya dibutuhkan untuk sebuah perubahan.

Mungkin saja pada saat itu wanita-wanita lain juga muak diperlakukan selayaknya bukan manusia, tapi masalahnya, keberanian mereka untuk mengubah semua itu tidak mampu berkembang sempurna. Mereka hanya mampu pasrah diperlakukan sebagai korban eksploitasi hingga penyelamat mereka tiba.

Dan Raden Ajeng Kartinilah si penyelamat itu.

Emansipasi tak berhenti sampai di situ saja. Keberanian seorang Kartini memompa semangat wanita-wanita lain untuk memperjuangkan hidup yang layak bagi wanita, seperti Cut Nyak Dien, seorang tokoh wanita perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Namun mirisnya, di saat perjuangan emansipasi wanita belum mencapai garis finish dan memenangkan perlombaan, justru wanita sendiri yang merintangi pencapaian itu. Sebuah inkonsistensi yang dihantarkan wanitalah yang justru menunda si emansipasi menyentuh pita merah di garis akhir.

Seringkali wanita berkoar-koar dengan mengatasnamakan emansipasi. Ketika tidak diizinkan melakukan ini itu, responnya, "Eh, ini zaman emansipasi, cewek juga bisa ngelakuin apa yang cowok bisa lakuin!", tapi jika tugas yang dilimpahkan adalah mengangkat meja dan kursi, mereka hanya akan berdiri si sudut dan menyemangati. Saat diminta membantu, jawabannya justru, "Kita, kan, cewek. Mana kuat ngangkat begituan?".

Pertanyaannya, sebenarnya wanita mau dianggap kuat atau lemah?
Membingungkan memang, tapi inilah kenyataannya. Seperti tak punya pendirian, wanita mengagung-agungkan emansipasi hanya ketika posisi mereka diuntungkan. Tidak konsisten. Tidak berpendirian.

Saya juga seorang perempuan yang nantinya akan bermetamorfosis menjadi seorang wanita, tapi saya sebisa mungkin menghindari apa yang dinamakan menggantungkan diri kepada orang lain. Jika saya masih mampu melakukannya, walaupun dengan bercucuran keringat, air mata, dan darah *wow, lebai*, saya akan melakukannya. Namun, jika saya memang tidak mampu, saya akan katakan saya tak sanggup. Bukan karena saya wanita, saya jadi tidak mampu melakukannya, tapi karena memang hal itu tidak saya kuasai.

Menjadi seorang wanita bukanlah sebuah hal yang mudah. Terombang-ambing di tengah ambiguiti sebuah 'emansipasi', wanita harus mampu menempatkan diri secara tepat, tapi itu sangat sulit. Berusaha menjadi kuat, tapi jauh di dalam hati ingin dilindungi sepenuhnya. Merasa aman bila dilindungi, tapi tetap ingin sebuah pembuktian diri. 

Terlalu banyak benang kusut yang melilit-melilit di dalam hati seorang wanita dan butuh kesabaran ekstra dan waktu yang panjang untuk merapikan lilitan-lilitan itu. Jangan dikira menjadi seorang wanita hanyalah masalah baju, aksesoris, tas, sepatu, kosmetik, dan salon. Jangan disangka menjadi seorang wanita hanyalah siklus esterogen yang naik-turun. Janganlah seorang wanita dianggap hanya wanita, karena wanita adalah sebuah keajaiban.

Hidup wanita!
Hidup Ibu Kartini!

U're the best I've ever had
~FeN~

*Saya ingat sebuah puisi yang judulnya Wanita-Wanita Perkasa, tapi mencoba mencarinya di Google, tetap tak ketemu juga. Saya lupa siapa yang mengarang, saya lupa potongan kata-katanya, hanya ingat judulnya.*

1 thoughts:

~'FeN'~ said...

waw.. wanita2 perkasa.. apo la itu.. cobo cari lagi fen. hahaha. Bahasanyo sangar2.. Terlalu banyak benang kusut melilit di hati seorang wanita.. wow..