Thursday, April 30, 2009
Saya
Labels: cintabuatmereka, curahancurahan~~ at 4/30/2009 08:01:00 AM
Terkadang saya berpikir, something has gone wrong within me. Dia, yang dulu pernah begitu berarti dalam kehidupan saya, kini saya tanggapi dengan sangat dingin. Entah salah siapa, saya merasa obrolan-obrolannya terkadang terlalu tidak penting dan terkadang terlalu ingin mengorek apa yang ada di dalam diri saya. Ya, mungkin salah saya. Call me selfish, call me cruel because I also feel that way. Saya mau berubah, merentangkan kedua tangan saya lebar-lebar, mengizinkannya sekali lagi memasuki hidup saya, sebagai seorang sahabat. Namun, yang saya ragukan, apakah dia mau menerima sebuah persahabatan atau akan menuntut yang lainnya? Mungkinkah hal ini yang memacu sikap dingin saya kepadanya? Keraguan sayakah yang membangun benteng tinggi di antara saya dan dirinya? Apakah nanti hal ini juga akan terjadi pada orang-orang berikutnya? If it happened over and over, I would be the real monster! So monstrous!
#2 Saya cerewet
Terkadang saya merasa sangat cerewet, terlalu banyak omong, terlalu ramai. Apa lagi di hadapan seorang teman yang bisa diam seribu bahasa hingga tsunami menerjang dan badai menghadang, saya merasa, wow, very talkative. Saya bisa bicara sampai berbusa-busa dan dijawab dengan sangat pelit. "Apakah benar saya terlalu banyak lalala-lilili dan membuat orang lain gerah?" sendiri, saya bertanya-tanya. Menginjak masa-masa bukan remaja lagi, perlukah saya berubah menjadi lebih 'deep'?Atau haruskah saya tetap menjadi seorang Febrina yang ramai dan suka berdebat sana sini? So chatty!
#3 Saya sakit
Insomnia yang tak mau pergi membuat tubuh saya sangat tidak fit dua bulan ini. Migrain, pegal-pegal, mood yang tidak terkontrol, dan ngantuk berkepanjangan irritate me soooo badly! Saya sebal dengan diri saya sendiri yang terlalu lemah. Saya mengizinkan suasana hati saya yang buruk mengontrol saya. Sungguh bodoh. Bodoh! Sesungguhnya saya sendiri capek dengan mood swing yang bolak-balik menghantam saya. Saya bisa kesal kepada siapa saja dengan alasan yang sangat tidak jelas. Sungguh kasihan nasib mereka-mereka yang dekat dengan saya. Mereka harus (tidak harus, sih, tapi karena mereka orang yang sangaaaaaat baik, mereka merasa punya kewajiban) menghibur saya. Saya sungguh berterimakasih. Saya mau coba berubah. I am so sick of this situation! So sorry.
#4 Saya malas
The very end of this semester exam period. Jika ini semester-semester yang lalu, saya sudah akan berada di rumah sekarang, melepaskan kerinduan terhadap rumah tercinta. Namun, semester ini, ada sesuatu yang membuat saya tertahan di pulau kecil ini. Dan sesuatu itu adalah sebuah mata kuliah berbasis project yang hanya berbobot 1 academic unit: Engineering Innovation and Design. Sungguh, tak ada sedikit pun niat saya untuk melanjutkan project ini. Saya tidak menangkap sedikit pun makna dari mata kuliah ini. Judul project yang aneh-aneh dan bikin pusing, marketing plan yang harus dibuat dengan rinci, poster yang harus dibuat semenarik mungkin, dan exhibition yang dilangsungkan entah buat apa. Sungguh malas diri ini memulai kembali pekerjaan ini. So lazy!
#5 Saya rindu
Entah sudah berapa lama rindu ini berdesir-desir. Lagi-lagi seorang sahabat mencoba pergi dari kehidupan saya. Ya, tak ada yang boleh melarang ia pergi memang. Semua itu mutlak haknya. Namun hati ini tak kuat menahan perihnya. Beberapa telah pergi begitu saja dan sekarang satu lagi akan pergi. Apakah saya begitu tidak pantas untuk dijadikan tempat bernaung dalam kesedihan? Apakah akan ada lagi yang menyusul nantinya? If the answer was yes, I would be the most lonely wolf in this world. So horrible!
#6 Saya cinta
Sungguh, saya sangat cinta. Tak ada yang mampu mengalahkan cinta kepada dirinya yang sudah berkembang sejak lama ini. Saya pernah merasa kesal dan sebal kepadanya, tapi semua itu tak akan mungkin memudarkan cinta saya kepadanya. Jika bukan untuknya, kepada siapa lagi cinta ini harus berlabuh? Dialah orang yang tepat, yang telah memberikan segenap jiwa dan raganya untuk saya, yang rela berkorban segalanya demi saya, yang merupakan langit dan bumi bagi saya. Saya adalah bagian darinya dan dia adalah bagian dari saya. Cinta ini akan selalu bermekaran, bahkan hingga kiamat menjemput bumi tercinta. Happy Mother's Day, Mom. Love you always. So in love with you!
Hujan.
Dan semuanya hanyalah sedikit tentang saya.
U're the best I've ever had
~FeN~
P.S. Saya sedang mencoba menulis gaya campur-campur. Sedikit English diaduk sama Bahasa Indonesia. Cool ma?
Wednesday, April 29, 2009
Tuesday, April 28, 2009
Examineuphoria
Labels: curahancurahan~~ at 4/28/2009 08:41:00 AM
~FeN~
Saturday, April 25, 2009
Nyampah
Labels: curahancurahan~~ at 4/25/2009 09:41:00 PM
~FeN~
Friday, April 24, 2009
Turn it to be wonderful
Labels: curahancurahan~~ at 4/24/2009 08:43:00 AM
- Pollution from factories and power plants
- Raw sewage
- Toxic dumps
- Pesticides
- Extinction of wildlife
- Recycling effort
- Global warming
- Clean energy
~FeN~
Wednesday, April 22, 2009
Dhani: Hanya 25 menit
Labels: sepotong imajinasi at 4/22/2009 09:32:00 PM
“Oke,” dan kau seketika melepaskan jemarimu, berdiri dan memunggungiku, “Aku sudah tau jawabannya. Selamat tinggal.”
Selamat tinggal.
Selamat tinggal.
Selamat tinggal.
Kata-kata terakhirmu bergema di telingaku, berulang-ulang, mengiringi suara hak sepatu merahmu yang tetap terdengar indah walau kau berjalan dalam kemarahan. Aku merasa bodoh, kecil, dan tak berdaya. Maafkan aku. Maafkan idealismeku. Aku memang bodoh.
Dan kini, kembali aku di sini, di bawah bintang-bintang, bertarung melawan diriku sendiri. Benar kata mereka, musuh terbesar manusia adalah dirinya sendiri. Aku berjuang menyingkirkan sisi egois dalam diriku, idealismeku, tapi aku takut aku tak mampu.
Sejak siang itu, tak pernah ada lagi perjumpaan denganmu, tak pernah ada senyum indahmu warnai hari-hariku. Sebulan telah berlalu dan tak ada satu pun dering darimu. Tak ada juga sapaan hangat suaramu yang menjawab panggilan cintaku. Aku sadar, kau benar-benar marah padaku. Tapi, di dalam rongga kecil yang menyimpan cintaku ini, aku masih sangat berharap kau mampu memaafkanku. Sungguh, Sayangku. Hidup tanpamu membuatku kehilangan separuh napasku.
Aku merindukanmu. Mataku merindukan senyummu. Tanganku merindukan jemarimu. Telingaku merindukan suaramu. Rambutku merindukan belaianmu. Bahkan kurasa kontrakanku merindukan derap langkah sepatu merah favoritmu. Trina, bagaimana sebulan ini aku mampu bertahan hidup tanpamu adalah sebuah keajaiban yang menyedihkan, dan kurasa keajaiban ini tak akan mampu bertahan lebih lama lagi.
Apakah keputusanku untuk berkutat dengan pikiran-pikiranku sendiri adalah sebuah kesalahan? Haruskah aku berlari ke dalam pelukanmu sekarang juga? Tapi, bagaimana tanggapan keluargamu jika melihatku? Aku merasa tak pantas untukmu, Sayang. Aku yakin aku akan merasa begitu kecil di hadapan keluargamu. Aku, dengan kontrakan reyotku, gaji kecilku, pekerjaan sederhanaku. Aku tak sanggup membayangkan kau menemaniku menderita.
Sial, mengapa aku terlahir dengan kepengecutan ini? Laki-laki macam apa aku? Persetan dengan keluargamu! Persetan dengan perbedaan sosial kita! Persetan dengan cibiran dunia! Yang aku butuh hanya cintamu dan aku sadar, telah kupunyai seluruh cintamu bertahun-tahun lamanya.
Sekarang aku butuh keberanian.
Aku mengeluarkan handphone-ku, memberanikan diri untuk sekali lagi menghubungimu, meminta maaf padamu, menikahimu.
“The number you are calling is not active or out of coverage area, please try again in a few minutes.”
Kesal, aku membanting benda kecil itu dan melihat jam tanganku, pukul 7.20 malam. Aku segera beranjak, aku telah membulatkan tekad, aku akan pergi ke rumahmu, sekarang juga. Aku akan melamarmu. Aku tak sanggup hidup tanpamu.
Tak punya kendaraan, aku terpaksa menunggu taksi. Ya, selama ini gajiku hanya kugunakan untuk membayar sewa kontrakan dan biaya kebutuhan sehari-hari. Aku menabung untukmu, hanya untukmu, untuk membahagiakanmu kelak.
Pukul 7.45, aku sampai di depan pagar rumahmu yang menjulang tinggi, tempat di mana kepengecutanku selama ini tumbuh dan berkembang. Kali ini, aku tak mau kalah, aku memberanikan diri menekan bel. Semenit, dua menit, tiga menit, tak seorang pun keluar.
Tiga kali aku mengalahkan kepengecutanku dan tak seorang pun menyambut dan memberiku selamat, tak seorang pun keluar, tidak kau, ayah ibumu, atau pun pembantu-pembantumu. Kurasa tak ada orang di rumahmu. Aku beranjak.
Aku seperti kehilangan arah. Aku tak tahu harus pergi ke mana. Aku kembali melirik jam tanganku, pukul 7.55. Aku tak tahu harus ke mana. Aku hanya berjalan tanpa arah dan tujuan. Kenapa ketika hatiku telah memberikan jawaban, aku malah tak tahu harus ke mana. Aku merogoh saku celanaku, bermaksud mencoba sekali lagi menghubungimu, sialan, handphone-ku masih tergeletak tak berdaya di halaman.
Kakiku melangkah, tapi otakku tak tahu ke mana kakiku membawaku. Aku terus dan terus berjalan, tak perduli ke mana. 8.25, entah kenapa, aku berhenti di depan sebuah gereja. Sedang ada upacara pernikahan sepertinya. Kulihat dari kejauhan, si mempelai wanita terlihat begitu bahagia dan aku membayangkan dirimu, Trina. Aku membayangkanmu ada dalam balutan gaun putih itu. Kau pasti akan terlihat sangat cantik, Sayangku.
Detik demi detik, aku memandang pengantin itu dan aku membayangkan dirimu. Detik demi detik, aku memandang pengantin itu dan aku yakin aku melihatmu. Aku berhalusinasi, aku terlalu merindukanmu, Sayangku.
“Dhani!” tiba-tiba ada suara memanggilku, dan aku mendengar itu sebagai suaramu. Aku mencari sumber suara dan mendapati dirimu di hadapanku.
“Trina,” aku tergagap, mendapati dirimu semakin memesonaku. Entah halusinasi atau bukan, kau mengenakan gaun putih yang dipakai oleh pengantin yang aku amati sejak tadi. Sungguh cantik, benar-benar cantik. Namun, seketika aku sadar, kecantikanmu ini bukan untukku. Kaulah mempelai yang sejak tadi aku perhatikan dari jauh dan kakiku benar-benar membawaku menghadapi takdirku.
“Dhan, kenapa kau bisa ada di sini?” tanyamu bingung.
“Takdir membawaku ke mari, Trina,” ujarku pelan, tanpa intonasi, tanpa penekanan seolah semua kemampuanku untuk berbicara dengan baik dan benar telah dibawa pergi oleh rohku yang tiba-tiba saja meyusup keluar dari tubuhku. Aku kosong.
“Kenapa?” tanyaku padamu, masih sepelan dan sedatar sebelumnya, “Tak ada lagikah kesempatan, Sayang?”
Kau menggeleng pelan, giwang di telingamu bergoyang pelan, menambah kecantikanmu. “Maafkan aku, Dhan,” jawabmu getir, tanpa senyum, “Kau terlambat. 25 menit.”
Itulah kata-kata terakhirmu padaku, sebelum air mata membasahi pelupuk matamu, sebelum kau berbalik meninggalkanku dengan lebam di hatiku, menyongsong hidupmu yang baru, tanpa aku.
After some time, I finally made up my mindshe is the girl and I really want to make her mine
I'm searching everywhere to find her again
to tell her I love her
and I'm sorry 'bout the things I've done
I find her standing in front of the church
the only place in town where I didn't search
She looks so happy in her wedding dress
but she's crying while she's saying this
Chorus:
Boy I've missed your kisses all the time but this is
twenty five minutes too late
Though you travelled so far I'm sorry you are
twenty five minutes too late
Against the wind I'm going home again
wishing me back to the time when we were more than friends
But still I see her in front of the church
the only place in town where I didn't search
She looked so happy in her wedding dress
but she cried while she was saying this
Chorus:
Boy I've missed your kisses all the time but this is
twenty five minutes too late
Though you travelled so far I'm sorry you are
twenty five minutes too late
Out in the streets
places where hungry hearts have nothing to eat
inside my head
still I can hear the words she said
Chorus:
Boy I've missed your kisses all the time but this is
twenty five minutes too late
Though you travelled so far boy I'm sorry your are
twenty five minutes too late
I can still hear her say.......MLTR - 25 Minutes
~FeN~
Dhani: Bolehkah aku memutar waktu?
Labels: sepotong imajinasi at 4/22/2009 06:18:00 PM
Dan aku hanya mampu duduk di sini, dalam kesendirian dan kesunyian malam, di bawah bintang-bintang yang tak bosan berkelip walau tak tergubris, menunggu hatiku memberi jawaban yang pasti. Teringat olehku percakapan kita bulan lalu.
“Dhan,” tiba-tiba kau datang ke kontrakanku dan kau langsung masuk karena tahu aku tak pernah mengunci pintu, “Kita harus bicara.”
“Ada apa, Sayang?” balasku lembut, mengimbangi ketergesaan dalam suaramu, tanpa mengalihkan pandangan dari komputerku. Aku sedang bekerja dan aku tak suka meninggalkan pekerjaanku setengah jalan. Ya, aku bekerja di rumah. Aku adalah editor sebuah majalah tidak ternama. Gajiku kecil dan karena itulah sampai sekarang aku belum berani melamarmu yang sudah kupacari selama 5 tahun. Aku tak mau mengubahmu dari seorang putri menjadi Upik Abu. Aku tak mau, sungguh.
“Kita harus bicara, sekarang juga. Cepet, tinggalin komputer itu,” desakmu sambil menarik kursi hidrolik yang sedang kududuki agar menghadap ke arahmu. Aku pun menyerah, meninggalkan artikel yang sedang kuedit dan memandangmu, matamu, hidungmu, kesempurnaan paras cantikmu.
Kau mendesah, begitu anggun, aku menikmati keanggunan itu, “Dhan, lamar aku, segera,” tiba-tiba kau berkata.
Belum sempat aku memuaskan diri memandang wajah indahmu, kau telah membuat aku terhenyak. Aku diam, tak mampu berkata-kata. Kau juga diam, menunggu jawabanku. Tak ada kata di antara kita. Hanya suara jam dinding pemberianmu yang terus berdetak tik-tak-tik-tak mengisi ruang yang seolah kosong ini.
Detik-detik berlalu, terasa berjam-jam, bahkan bertahun-tahun, dan aku memberanikan diri berkata, “Trina, dengar, belum saatnya kita menikah. Menikah bukan sekadar membalikkan telapak tangan, Sayang. Aku sudah janji, kan, kalau aku pasti akan melamar kamu. Please, tunggu aku.”
“Kamu ngga ngerti, Dhan! Aku sudah 25 tahun dan tak pernah sekalipun kamu menampakkan diri di rumahku. Keluargaku pikir aku tak punya pacar dan mereka sudah memilihkan aku calon suami. Kamu mau aku menikah dengan orang lain? Sampai kapan aku harus menunggu?” serumu cepat, membuatku semakin kehilangan kata-kata.
Trina, aku tak tahu harus berkata apa. Lidahku kelu. Aku pun tak tahu ekspresi apa yang nampak dari wajahku sekarang, apakah tegang, sedih, atau malah tanpa ekspresi sama sekali? Kamu tahu, aku sungguh tak tahu harus kujawab apa semua seruanmu. Aku memang bodoh. Tak pernah sekalipun aku datang ke rumahmu, mengucapkan salam kepada keluargamu, atau sekadar mengantarmu sampai di beranda rumahmu. Keberanianku hanya sebatas pagar rumahmu yang tinggi menjulang. Aku memang pengecut, Sayang. Aku tak berani menghadapi risiko ditolak oleh ayah dan ibumu. Aku hanya perantau dari kota kecil yang tak punya apa-apa.
“Dhan,” panggilmu, membuyarkan lamunanku, “Kamu dengerin aku nggak, sih?”
“Iya, iya, aku denger,” jawabku pelan, “Aku hanya nggak tau harus berkata apa. Aku …”
Kata-kataku terputus setelah kau cepat-cepat menerka kelanjutannya, “Belum siap menikah. Iya, kan? Bosan aku, Dhan, kata-katamu nggak ada variasi. Bahkan di saat aku sudah mau dijodohkan dengan orang lain pun, kamu masih bilang tidak siap. Jangan-jangan kamu memang tidak cinta padaku?”
“Trina,” aku pun menggenggam jemarimu yang halus, “Tak ada yang bisa mengalahkan cintaku padamu, kau tahu. Karena cinta itulah, aku tak mau melihatmu menderita. Aku tak mau kau susah bersamaku. Beri aku waktu sampai aku mapan, dan aku akan membawamu bersamaku.”
Aku tak dapat menerka ekspresi apa yang sedang kau tunjukkan padaku, mungkin setengah sedih, setengah geli. “Dhan, aku bekerja, kamu bekerja, dan kita bisa merintis semuanya berdua. Kita mulai bersama, dari nol. Aku mau menikah denganmu bukan karena uang, tapi karena cinta. Kalau aku hanya ingin kemewahan, aku sudah meninggalkanmu dari dulu!”
“Tapi, Sayang,” bantahku, “Aku …”
“Stop. Sekarang bilang padaku, kamu mau ikut ke rumahku sekarang dan bilang pada papa kalau kamu adalah pacarku atau tidak?” ujarmu memotong omonganku yang belum sempat dimulai.
“Trina, kumohon …”
“Oke,” dan kau seketika melepaskan jemarimu, berdiri dan memunggungiku, “Aku sudah tau jawabannya. Selamat tinggal."
(bersambung)
U're the best I've ever had
~FeN~
Tuesday, April 21, 2009
Rindu
Labels: curahancurahan~~, sisipuitis at 4/21/2009 03:02:00 PM
~FeN~
Ia yang Perkasa
Labels: cintabuatmereka, curahancurahan~~ at 4/21/2009 07:01:00 AM
~FeN~
Monday, April 20, 2009
20 Morning
Labels: curahancurahan~~ at 4/20/2009 08:16:00 AM
~FeN~
Saturday, April 18, 2009
19th April
Labels: cintabuatmereka at 4/18/2009 08:30:00 AM
Friday, April 17, 2009
Puisi juga Budaya
Labels: curahancurahan~~ at 4/17/2009 08:49:00 PM
DOA
kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
13 November 1943
~FeN~
Thursday, April 16, 2009
Tujuh Dua Puluh Empat
Labels: cintabuatmereka, sisipuitis at 4/16/2009 12:54:00 PM
~FeN~
Monday, April 13, 2009
These words are just stuck here
Labels: cintabuatmereka, curahancurahan~~ at 4/13/2009 08:55:00 AM
~FeN~
Saturday, April 11, 2009
Cry for you
Labels: cintabuatmereka, curahancurahan~~ at 4/11/2009 07:55:00 PM
~FeN~
Congratz!!!
Labels: cintabuatmereka, curahancurahan~~ at 4/11/2009 11:03:00 AM
~FeN~
Friday, April 10, 2009
Dia Bukan Rama
Labels: sisipuitis at 4/10/2009 09:14:00 AM
~FeN~
Tuesday, April 07, 2009
Inside
Labels: curahancurahan~~ at 4/07/2009 02:27:00 PM
~FeN~