Wednesday, April 22, 2009

Dhani: Hanya 25 menit

“Oke,” dan kau seketika melepaskan jemarimu, berdiri dan memunggungiku, “Aku sudah tau jawabannya. Selamat tinggal.”

Selamat tinggal.

Selamat tinggal.

Selamat tinggal.

Kata-kata terakhirmu bergema di telingaku, berulang-ulang, mengiringi suara hak sepatu merahmu yang tetap terdengar indah walau kau berjalan dalam kemarahan. Aku merasa bodoh, kecil, dan tak berdaya. Maafkan aku. Maafkan idealismeku. Aku memang bodoh.

Dan kini, kembali aku di sini, di bawah bintang-bintang, bertarung melawan diriku sendiri. Benar kata mereka, musuh terbesar manusia adalah dirinya sendiri. Aku berjuang menyingkirkan sisi egois dalam diriku, idealismeku, tapi aku takut aku tak mampu.

Sejak siang itu, tak pernah ada lagi perjumpaan denganmu, tak pernah ada senyum indahmu warnai hari-hariku. Sebulan telah berlalu dan tak ada satu pun dering darimu. Tak ada juga sapaan hangat suaramu yang menjawab panggilan cintaku. Aku sadar, kau benar-benar marah padaku. Tapi, di dalam rongga kecil yang menyimpan cintaku ini, aku masih sangat berharap kau mampu memaafkanku. Sungguh, Sayangku. Hidup tanpamu membuatku kehilangan separuh napasku.

Aku merindukanmu. Mataku merindukan senyummu. Tanganku merindukan jemarimu. Telingaku merindukan suaramu. Rambutku merindukan belaianmu. Bahkan kurasa kontrakanku merindukan derap langkah sepatu merah favoritmu. Trina, bagaimana sebulan ini aku mampu bertahan hidup tanpamu adalah sebuah keajaiban yang menyedihkan, dan kurasa keajaiban ini tak akan mampu bertahan lebih lama lagi.

Apakah keputusanku untuk berkutat dengan pikiran-pikiranku sendiri adalah sebuah kesalahan? Haruskah aku berlari ke dalam pelukanmu sekarang juga? Tapi, bagaimana tanggapan keluargamu jika melihatku? Aku merasa tak pantas untukmu, Sayang. Aku yakin aku akan merasa begitu kecil di hadapan keluargamu. Aku, dengan kontrakan reyotku, gaji kecilku, pekerjaan sederhanaku. Aku tak sanggup membayangkan kau menemaniku menderita.

Sial, mengapa aku terlahir dengan kepengecutan ini? Laki-laki macam apa aku? Persetan dengan keluargamu! Persetan dengan perbedaan sosial kita! Persetan dengan cibiran dunia! Yang aku butuh hanya cintamu dan aku sadar, telah kupunyai seluruh cintamu bertahun-tahun lamanya.

Sekarang aku butuh keberanian.

Aku mengeluarkan handphone-ku, memberanikan diri untuk sekali lagi menghubungimu, meminta maaf padamu, menikahimu.

“The number you are calling is not active or out of coverage area, please try again in a few minutes.”

Kesal, aku membanting benda kecil itu dan melihat jam tanganku, pukul 7.20 malam. Aku segera beranjak, aku telah membulatkan tekad, aku akan pergi ke rumahmu, sekarang juga. Aku akan melamarmu. Aku tak sanggup hidup tanpamu.

Tak punya kendaraan, aku terpaksa menunggu taksi. Ya, selama ini gajiku hanya kugunakan untuk membayar sewa kontrakan dan biaya kebutuhan sehari-hari. Aku menabung untukmu, hanya untukmu, untuk membahagiakanmu kelak.

Pukul 7.45, aku sampai di depan pagar rumahmu yang menjulang tinggi, tempat di mana kepengecutanku selama ini tumbuh dan berkembang. Kali ini, aku tak mau kalah, aku memberanikan diri menekan bel. Semenit, dua menit, tiga menit, tak seorang pun keluar.

Tiga kali aku mengalahkan kepengecutanku dan tak seorang pun menyambut dan memberiku selamat, tak seorang pun keluar, tidak kau, ayah ibumu, atau pun pembantu-pembantumu. Kurasa tak ada orang di rumahmu. Aku beranjak.

Aku seperti kehilangan arah. Aku tak tahu harus pergi ke mana. Aku kembali melirik jam tanganku, pukul 7.55. Aku tak tahu harus ke mana. Aku hanya berjalan tanpa arah dan tujuan. Kenapa ketika hatiku telah memberikan jawaban, aku malah tak tahu harus ke mana. Aku merogoh saku celanaku, bermaksud mencoba sekali lagi menghubungimu, sialan, handphone-ku masih tergeletak tak berdaya di halaman.

Kakiku melangkah, tapi otakku tak tahu ke mana kakiku membawaku. Aku terus dan terus berjalan, tak perduli ke mana. 8.25, entah kenapa, aku berhenti di depan sebuah gereja. Sedang ada upacara pernikahan sepertinya. Kulihat dari kejauhan, si mempelai wanita terlihat begitu bahagia dan aku membayangkan dirimu, Trina. Aku membayangkanmu ada dalam balutan gaun putih itu. Kau pasti akan terlihat sangat cantik, Sayangku.

Detik demi detik, aku memandang pengantin itu dan aku membayangkan dirimu. Detik demi detik, aku memandang pengantin itu dan aku yakin aku melihatmu. Aku berhalusinasi, aku terlalu merindukanmu, Sayangku.

“Dhani!” tiba-tiba ada suara memanggilku, dan aku mendengar itu sebagai suaramu. Aku mencari sumber suara dan mendapati dirimu di hadapanku.

“Trina,” aku tergagap, mendapati dirimu semakin memesonaku. Entah halusinasi atau bukan, kau mengenakan gaun putih yang dipakai oleh pengantin yang aku amati sejak tadi. Sungguh cantik, benar-benar cantik. Namun, seketika aku sadar, kecantikanmu ini bukan untukku. Kaulah mempelai yang sejak tadi aku perhatikan dari jauh dan kakiku benar-benar membawaku menghadapi takdirku.

“Dhan, kenapa kau bisa ada di sini?” tanyamu bingung.

“Takdir membawaku ke mari, Trina,” ujarku pelan, tanpa intonasi, tanpa penekanan seolah semua kemampuanku untuk berbicara dengan baik dan benar telah dibawa pergi oleh rohku yang tiba-tiba saja meyusup keluar dari tubuhku. Aku kosong.

“Kenapa?” tanyaku padamu, masih sepelan dan sedatar sebelumnya, “Tak ada lagikah kesempatan, Sayang?”

Kau menggeleng pelan, giwang di telingamu bergoyang pelan, menambah kecantikanmu. Maafkan aku, Dhan,” jawabmu getir, tanpa senyum, “Kau terlambat. 25 menit.”

Itulah kata-kata terakhirmu padaku, sebelum air mata membasahi pelupuk matamu, sebelum kau berbalik meninggalkanku dengan lebam di hatiku, menyongsong hidupmu yang baru, tanpa aku.


After some time, I finally made up my mind
she is the girl and I really want to make her mine
I'm searching everywhere to find her again
to tell her I love her
and I'm sorry 'bout the things I've done 

I find her standing in front of the church
the only place in town where I didn't search
She looks so happy in her wedding dress
but she's crying while she's saying this 

Chorus:
Boy I've missed your kisses all the time but this is
twenty five minutes too late
Though you travelled so far I'm sorry you are
twenty five minutes too late 

Against the wind I'm going home again
wishing me back to the time when we were more than friends 

But still I see her in front of the church
the only place in town where I didn't search
She looked so happy in her wedding dress
but she cried while she was saying this 

Chorus:
Boy I've missed your kisses all the time but this is
twenty five minutes too late
Though you travelled so far I'm sorry you are
twenty five minutes too late 

Out in the streets
places where hungry hearts have nothing to eat
inside my head
still I can hear the words she said 

Chorus:
Boy I've missed your kisses all the time but this is
twenty five minutes too late
Though you travelled so far boy I'm sorry your are
twenty five minutes too late 

I can still hear her say.......

MLTR - 25 Minutes

(Tamat)

U're the best I've ever had
~FeN~

Maafkan bila ceritanya kurang panjang atau kurang gereget atau kurang orisinil atau kurang apapun. Harap maklum. Saya masih dalam proses pembelajaran, dan saya sangat mengharapkan segala kritik dan saran, baik yang konstruktif maupun yang destruktif.
Terimakasih.

4 thoughts:

~'FeN'~ said...

Yey very nice1
after sometime~
hmm~
napo caknyo cerpen ini rada" aneh aku baconyo ye??
tp dak tau aneh dmn >.<

ajari nulis fen~

~'FeN'~ said...

wow.. hmm co nyo bengak2.. Madai sebulan dak telpon2. Kau bengak emanggg.. hahaha
Keren fen, dpp dak orisinil, tapi tetep b keren. ^^
ditunggu post-an yang orisinil gek. ~~
Pas awal2 dio pergi tu. Dak tahan baco kalimatnyo.. hahaha

Nice..

@del: kau jarang baco cerpen del. hahaha. jangan b gek jadi 25 minutes jg. hahaha

~'FeN'~ said...

oe" 25 menit masi dak pulo la
25 detik na baru nancep
ouch*
kau tu na jgn sebengak itu ye win
kasian gek, masa 25 years too late
nyahaha

mano ado aku jarang baco cerpen
paling hobi aku cerpen, pendek"
kl novel paling liat" dulu, kl bagus br baco >.<

~'FeN'~ said...

Poor man, the gate has been closed for him....but he have to survive...only then he can find another gate which will lead to happiness....